Lebaran Di Bangka
Waktu aku dan adik-adikku kecil dulu di Bangka, Lebaran sama pentingnya dengan Natal dan Kongian (Hari Raya Kongfucu) .
Hari yang paling aku ingat sebelum Lebaran adalah malam Takbiran. Dimalam Takbiran, semua anak-anak kompleks Tambang Timah Bangka (TTB) Ake di Sungailait, dan anak-anak yang datang dari kampung tetangga seperti Kampung Jelutung, Kampung Rumbiak, Kampung Simpang berkumpul bersama di lapangan sepak bola. Ada anak-anak Batak seperti aku, abangku, dan adik-adikku, ada anak-anak Tionghoa seperti kawanku Ahiung, ada anak-anak Jawa, ada anak-anak Buton, ada anak-anak Bugis, dan terutama banyak sekali anak-anak Melayunya. Kami semuanya datang dari berbagai agama; ada yang Islam, Kongfucu, Kristen Protestan dan Katolik, bahkan ada yang berasal dari kepercayaan tradisional Melayu Bangka, walaupun mereka mengaku beragama Islam.
Yang sangat menggembirakan kami sebagai anak-anak adalah pada saat seluruh kawan laki-laki kami membawa obor api yang warnanya terang benderang dimalam Takbiran. Saat itu, kami semuanya bersemangat mencari Laitatul Qodar yaitu mencari mahluk-mahluk halus yang bersembunyi ditempat-tempat gelap, disudut-sudut kampung, kebun dan hutan. Tak ada satupun orangtua-orangtua kami melarang anak-anaknya ikut bergabung dengan anak-anak Islam lainnya. Begitu juga dengan orangtua-orangtua kawan kami yang Islam tidak keberatan kami ikut ambil bagian dimalam Takbiran itu.
Dari lapangan sepak bola, bergeraklah kami semuanya dengan perasaan seru, mengelilingi kampung, menujuh tempat-tempat gelap untuk mencari Laitatul Qodar yang bersembunyi ketakutan dari kejaran kami, anak-anak dimalam Takbiran ini. Pada saat bergerombol membawa obor api memasuki tempat-tempat tergelap dan paling mengerikan, kami akan menangkap Laitatul Qodar, sambil meloncat-loncat, dan menggenggamnya dengan kuat-kuat, sambil komat-kamit berdoa meminta hadiah-hadiah yang dinginkan. Doa-doa permintaan ini harus tulus karena kalau tidak tulus maka Tuhan tidak akan mengabulkannya. Itu menurut guru ngaji kawanku Rohilah yg kami panggil Bik Rumiah yang tinggal dibelakang rumah kami. Kami pun berdoa komat-kamit, setulus-tulusnya, sambil memejamkan mata sekuat-kuatnya takut Laitatul Qodar bisa membukakan mata kami dengan kekuatan gaibnya. Tentu saja waktu itu aku dan semua kawan-kawanku percaya. Yang paling menggembirakan hatiku saat itu, saat teman laki-laki kami memberikan kesempatan bergilir kepada kami memegang obor api. Rasanya seperti memegang bintang gemintang dilangit, paling tidak itu yang kurasakan. Mencari Laitatul Qodar ini memakan waktu dua sampai tiga jam.
Setelah puas mencari Laitatul Qodar, kami semuanya mengikuti kawan-kawan Islam kami mengelilingi kompleks dan kampung-kampung sambil meneriakkan suara Takbiran. Kami semua membawa sesuatu untuk dipukul-pukulkan. Ada yang membawa Tong-tong timah kosong bekas Tar-tar Aspal, ada yang membawa Ember, ada yang membawa Panci-panci bocor milik Emaknya, ada yang membawa kaleng bekas Blueband atau membawa benda-benda bekas apa saja, pokoknya bisa dipukulkan dan mengeluarkan suara-suara gaduh supaya seluruh kampung bangun dan menyiapkan makanan-makanan yang enak untuk menyambut Lebaran esoknya.
Setelah puas mengikuti kawan-kawan Islamku bertakbiran, maka pulanglah kami kerumah, tidur kecapekan. Tidak ada sekalipun bapak dan mamak kami marah atau jengkel. Tidur pun tanpa cuci kaki, cuci muka dan gosok gigi seperti kebiasaan yang ditanamkan oleh bapak dan mamak kami.
Besoknya, kami semua yang Non-Muslim menunggu kawan-kawan kami diluar mesjid, menunggu mereka menyelesaikan sembahyang Idnya. Kami tidak langsung pergi bertamu kerumah-kawan-kawan, kami tunggu barang sejam supaya tidak terlalu malu datang duluan, sementara seluruh keluarga yang merayakan Lebaran belum salam-salaman. Setelah sejam, barulah kami bergerombol, terdiri dari enam orang, berlebaran kerumah pertama yaitu rumah kawan kami Rohilah, sesuai dengan hasil diskusi sebelumnya.
Ada kebiasaan unik dari kami anak-anak Kristen dan Kongfucu saat pergi berlebaran. Kami selalu memakai baju berkantung saku besar dan banyak. Aku ingat sekali, aku selalu memakai celana pendek abangku yang punya kantung saku empat yaitu dua saku dibelakang celana dan dua saku didepan celana. Aku pun sampai memakai baju gereja Safari abangku berkantung saku empat juga yaitu dua kantong saku diatas dan dua kantong saku dibawah kiri kanan. Jadi aku punya delapan kantung saku. Kegunaanya? Sebentar akan aku ceritakan.
"Assallam Muallaikuuuuuuuum!" teriak kami dengan keras takut tetangga tidak dengar. Biasanya suaraku yang paling keras. "Allaikum Sallaaaaaaaam... Masuk, masuuk, naak," ajak Bik Rohilah. "Selamat lebaran ok, bik. Selamat lebaran ok mang. Selamat lebaran Rohilah, ook?" Sambil menyalami semua anggota keluarga perempuan yang dituakan, yang biasanya duduk melingkar, berbaju kebaya Melayu dan berkerudung seadanya, kadang diselempangkan atau dililitkan sekenanya dileher. Begitu juga dengan anggota keluarga laki-laki yang dituakan, biasanya memakai celana panjang dan kemeja serta tak lupa berpeci. Biasanya mereka duduk mengelilingi meja tamu yang banyak toples-toplesnya, berisi bermacam-macam kue-kue lebaran. Teman-teman Islam kami memakai sepatu baru dan baju baru yang berwarna-warni pula. Biasanya baju baru itu berwarna kuning, merah jambu, biru muda, merah, hijau dan berenda-renda. Waktu itu belum ada yang memakai Jilbab dan berbaju Koko. Semuanya memakai kebaya Melayu yang berwarna-warni dan berkembang-kembang.
Kami langsung diantar kebelakang, kedapur, dan tersedialah makanan-makanan surga dimeja makan, yang jumlahnya banyaaaak sekali. Kami semua senang bukan kepalang. Ada Ketupat, ada Lempah Darat, ada Opor, ada Rendang, ada Ayam Goreng, ada Gulai, ada Sayur Labu bersantan, ada Ikan Masak Kuning, dan seterusnya, dan seterusnya... Pokoknya banyak sekali dan berlimpah ruah.
Kami pun mengambil makanan ala anak kampung, sopan dan seolah-olah malu-malu (padahal tidak sama sekali, dan semuanya lapar! Kami berjalan berbaris didekat meja makan sambil memegang piring kaleng dan sendok kaleng masing-masing, dorong-dorongan, takut tak kebagian. Persis sama dengan acara 17 Agustusan, hanya kali ini kami tidak berbaris diteriknya sinar Matahari sambil menyanyikan Indonesia Raya dan memberi hormat ke Bendera Merah Putih dan perut keroncongan. Hari itu kami semua memakaii baju bagus yang berkantong banyak. "Jangan berebut, naak." teguran Bik Rohilah. Rohilah, kawan kami itu, hanya duduk dikursi meja sambil tertawa cekikan melihat kami main dorong-dorongan tidak sabar. Dan biasanya kelakuan barbar ini selalu terjadi dirumah pertama Lebaran kami. Entah mengapa perasaan barbar ini justru muncul dirumah pertama.
Kami makan isi piring kami yang menggunung dengan lahap, sampai kawan kami Ahiung, orang Tionghoa, kebengkel oleh sepotong daging Rendang, yang ditelannya bulat-bulat, tidak dikunyah, nyangkut ditenggorokannya dan Ahiung hampir mati kebengkel!
"Biiiik, Ahiung kebengkeeeeel!" teriak kami serentak, ketakutan. Muka Ahiung pun pucat fasih karena tak bisa bernafas. Bibik Rohilah stress berat melihat muka Ahiung yang pucat karena kebengkel.
"Ambik aik minum tuuh!" Akupun bergerak cepat sambil mengambil air minumku dan memberikannya ke Bik Rohilah. Bibik menuangkan air minum tadi ke mulut Ahiung yang memang sudah terbuka karena mulutnya yang kebengkel daging sapi Rendang, yang ditelan bulat-bulat tanpa dikunyah. "Telen, teleeen yuuuung!" paksa Bik Rohilah. Mata Ahiung terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak bisa menelan air minum. Tidak berhasil, daging sapi masih berada ditengah tenggorokan Ahiung, muka Ahiung semangkin pucat.
Akhirnya, datanglah suami Bik Rohilah, Mang Udin, dan digebuknyalah punggung Ahiung dari belakang, meloncatlah keluar daging sapi rendang yang tidak dikunyah itu dari tenggorokan Ahiung. Ahiung pun terbatuk-batuk sebentar, selamat dan beberapa menit kemudian mukanya kembali segar. Ahiung dipaksa minum air teh manis hangat yang baru dibuat kawan kami Rohilah. Seluruh tamu Bik Rohilah dan Mang Udin kedapur mengelilingi Ahiung, ada yang mengipas-ipas muka Ahiung dengan tutup panci aluminium, ada yang mengurut-urut punggung Ahiung. Pada dasarnya semuanya merasa legah karena daging sapi yang tidak dikunyah Ahiung itu keluar dari tenggorokannya dan Ahiung tak jadi mati karena kebengkel.
"Lah kupade kek ikak, jangan be berebut makan ketupat e, jangan rakus umuuuun...!" (Sudah kubilang sama kalian semuanya, jangan berebutan makan ketupatnya dan jangan terlalu rakuuus...!"), omel Bik Rohilah. Kami pun melanjutkan makan ketupat lebaran kami masing-masing dengan perasaan malu sekalian jengkel ke Ahiung, sambil mendengar ocehan Bik Rohilah yang kepanjangan dan strees berat. Waktu itu, kami hanya malu melihat Ahiung. "Tu lah ka! Make e jangan rakus igak!" ("Itulah kau ini, makanya jangan terlalu rakus!"), kata salah satu kawanku dengan suara tertahan ke Ahiung. Ahiung tersenyum cengengesan.
Setelah makan ketupat, kamipun disuruh duduk diruang tamu untuk makan kue-kue Lebaran dimeja. Ada kue Sempret, kue Bolu Gulung, kue Serabi, Kacang Goreng, Tar Nanas, Getes, Kemplang, Kerupuk Udang dan seterusnya. Kamipun disuguhi segelas Limun, semacam minuman ringan, yang kami sebut Siti (tulisan CITY) dan Coca Cola.
Pas tuan rumah sedang kebelakang rumah, mendampingi tamu-tamu lainnya didapur, disitulah kegunaan kantung-kantung saku kami tadi. Kami semua mengisi kantong-kantong saku kami dengan Kacang, Getes dan kue-kue lebaran lainnya secepat kilat. Takut ketahuan. Waktu itu sebagai anak-anak kampung, kami tidak merasa malu. Setelah kantung saku kami penuh, kamipun serentak berpamitan. Pas sedang memakai sepatu didepan pintu, baru terdengar suara Bik Rohilah ngoceh ke kami: "Ikak ni ngantung kue-kue bibik ok? Tau dak, tamu-tamu bibik masi banyek e?" (Kalian ini ambil kue-kue bibik ya? Tahu nggak, tamu-tamu bibik masih banyak?"). Kami pun melangkah pergi tergopoh-gopoh sambil permisi mengucap: "Assallam Muallaikuuuuum..." dan biasanya tidak dijawab balik: " Allaikum Sallaaam.." karena bibiknya marah.
Hari semangkin siang, sedikit demi sedikit bergabunglah kawan-kawan muslim kami semuanya untuk pergi berlebaran bersama kerumah-rumah kawan sepermainan lainnya.
Melihat situasi saat ini di Indonesia, yang marak mengganggu tali persaudaraan dengan menggunakan kata HARAM oleh kelompok-kelompok yang anti kebersamaan spt FPI, PKS ditambah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), bersamaan dengan hotbah-hotbah anti kebersamaan yang sering kita dengar lewat speaker-speaker bervolume keras dari mesjid-mesjid, yang diarah keseluruh penjuru mata angin, akhirnya aku bertanya-tanya apakah rasa persaudaraan sayang ini, yang aku alami bersama-sama dengan saudara-saudaraku yang lainnya dulu akan tetap langgeng dilakukan di Indonesia?
Grace Siregar
Perupa
16 September 2010
Biografi Grace Siregar:
Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.
Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.
Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.
Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.
Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home