Sekolah Minggu Di Bangka
Rumah kami yang terletak didalam Perumahan Kompleks Tambang Timah Bangka (TTB) Ake dikelilingi oleh empat buah kampung kecil yaitu Kampung Jelutung, Kampung Simpang Rumbiak, Kampung Simpang dan Kompleks Perumahan TTB Deniang Laut yang berdekatan dengan Pantai Matras yang terkenal itu. Hanya ada satu jalan tanah kuning tak beraspal, menanjak, yang menghubungkan Perumahan TTB Ake dengan keempat kampung tersebut. Hutan lebatpun menjadi pembatas antara satu kampung ke kampung-kampung lainnya. Hutan-hutan inilah yang menjadi taman bermain masa kecil kami semuanya.
Perusahaan TTB menyediakan satu truk besar sebagai alat transportasi seluruh pegawai TTB beserta seluruh keluarganya, dari/ke Kompleks TTB Deniang Laut sampai ke ibukota Kabupaten Bangka, Sungailiat. Antar jemput ini hanya dilakukan dua kali sehari yaitu pada jam 05.30 pagi dan jam 14.00. Minggu libur. Supir truk TTB itu bernama Mang Arifin tapi kami panggil Mang Aripin. Mang Aripin orang Melayu Islam yang baik hati. Semua orang sayang sama Mang Aripin walaupun Mang Aripin sering meninggalkan orang-orang kompleks yang terlambat. Mang Aripin bertubuh pendek, gemuk dan berwajah bulat seperti kue Apem. Mang Aripin suka sekali ngobrol dengan siapa saja yang duduk didepan dengannya. Biasanya Ibu-ibu tua atau ibu-ibu bunting.
Tidak banyak saingan Mang Aripin saat itu, hanya ada satu atau dua angkutan umum lainnya yang kami panggil Uto Pownis. Uto dalam bahasa Melayu artinya mobil. Uto Pownis ini terbuat dari kayu berwarna merah. Kursi-kursinya terbuat dari kayu-kayu panjang yang tersusun rapi dari depan sampai kebelakang. Didalamnya luas dan sejuk. Yang paling aku sukai dari Uto Pownis ini adalah jendela kayunya. Jendala kayunya bisa diturun naikkan sesuai dengan cuaca saat itu. Pemilik Uto Pownis adalah tetangga Tionghoa kami yang tinggal di Kampung Rumbiak dan Kampung Simpang. Mereka ini kami panggil Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Asuk dalam Bahasa Cina Kek artinya bapak.
Gereja Huria Kristen Batak Protestan yang dikenal dengan Gereja HKBP hanya ada satu di Sungailiat yang jaraknya dua jam naik Uto Pownis atau truk Mang Aripin. Karena keterbatasan angkutan dan keterbatasan guru-guru Sekolah Minggu inilah, maka kegiatan beribadah anak-anak Batak seperti aku, saudara-saudaraku serta anak-anak Batak HKBP lainnya, yang tinggal jauh dikampung-kampung Sungailiat, Bangka sana, hanya bisa dilakukan sebulan sekali. Itupun harus bergilir dengan kampung-kampung lainnya. Pemberitahuan ibadah Sekolah Minggu dikabarkan sebulan sebelumnya melalui bapak kami. Ibadah ini dilakukan pada hari Sabtu pertama setiap bulan ini. Para orangtua Batak di kompleks kami berkumpul untuk memutuskan giliran rumah siapa yang akan dipakai untuk Ibadah Sekolah Minggu nantinya.
Biasanya setiap hari Jumaat malam jam 19.00 WIB, aku dan kawanku Ahiung menemani kawan-kawanku, Sinar, Rohilah, Udin, Eko, Abdul, Siti, dan Tini belajar mengaji kerumah Bik Rumiah. Sinar, Rohilah, Siti dan Tini pergi ngaji dengan berkebaya Melayu, bersarung dan berselendang, sedangkan Udin, Eko dan Abdul bersarung dan berpeci. Dirumah Bik Rumiah, teman-temanku akan duduk ditikar, melingkar, mengelilingi Bik Rumiah. Al-Quran diletakkan diatas meja kayu kecil berkaki dua yang bisa dilipat. Bik Rumiah akan mengajarkan teman-temanku membaca dan melafalkan bunyi ayat-ayat Al-Quran dengan memakai lidi. Membacanya pun dimulai dari belakang ke depan. Aku Dan Ahiung selalu duduk dibelakang kawan-kawanku, atau aku duduk dekat Bik Rumiah terkantuk-kantuk. Suara-suara jangkrik mengisi suasana malam yang syahdu. Kadang aku dan Ahiung ikut mendengarkan dan melafalkannya. Pada saat-saat tertentu, Bik Rumiah bertanya kepada kawan-kawanku. Saat tidak ada yang bisa menjawab, maka akupun angkat tangan dan menjawabnya dengan benar. Sejak itu, setiap ada ujian dari Bik Rumiah, maka teman-temanku menyuruh aku duduk dibelakang mereka dan menjadikanku sebagai sumber bocoran. Bik Rumiah adalah sahabat mamakku. Mamakku sayang kepada Bik Rumiah, begitu juga kami.
Kali ini giliran aku yang bersekolah minggu. Aku kasih tahu kawan-kawanku bahwa aku tidak bisa bermain siang nanti dengan mereka. Terus terang acara Sekolah Minggu adalah ibadah yang sangat kutunggu-tunggu, begitu juga dengan abang dan adik-adikku, bahkan oleh seluruh kawan-kawan Batak kami yang lainnya. Pada hari itu, mamak kami akan menyuruh kami mandi dengan pengawasan ketat. Dirumah, mamak kami akan membantu adik-adikku yang lebih kecil untuk mandi supaya seluruh daki-daki yang ada dibelakang kuping, dilipatan-lipatan badan dan kaki lekang. Kami pun disuruh menggosok kulit kaki kami dengan batu Apung supaya kulit kaki kami halus dan mengkilat kinclong!
Selesai mandi, kami semua memakai baju dan sepatu gereja kami. Baju dan sepatu gereja ini jarang kami pakai kecuali ke gereja, pesta kawin, Natal dan Tahun Baru atau pergi tamasya ke Pasar Tungtau, diajak oleh bapak dan mamak sekali-kali untuk minum Es Campur dan makan Mie Mian di Warung Apo yang terkenal enak itu. Baju gereja kami berwarna-warni dan berenda-renda halus. Aku ingat sekali, aku punya baju berwarna biru muda, adik-adikku berbaju kuning, merah jambu dan hijau. Baju-baju gereja kami ini sangat cantik dan bila badan kami berputar maka mengembanglah bagian bawah baju kami dengan indahnya. Abangku berpakaian baju Jas Safari yang dibelikan mamakku dari Medan.
Kami semuanya memakai sepatu-sepatu gereja kami, yang jarang kami pakai, sehingg kaku dan sedikit kekecilan. Kaki-kaki kami pun kesakitan pada saat memakainya. "Tu lah, men tiap ari gawe e main dak bekasut!" (Itulah kalau setiap hari main tanpa sandal!" omel mamak kami. Aku memaksa kakiku memakai sepatu gerejaku yang kesempitan dan kaku walaupun harus berjalan terjinjit-jinjit kesakitan karena aku ingin tampil cantik di ibadah nanti.
Rumah ibadah Sekolah Minggu kali ini dilaksanakan dirumah kawan kami Lehet Situmeang yang kami panggil Amangboru Lehet. Amangboru artinya paman. Tuan rumah biasanya menyediakan kue-kue basah seperti kue Bolu, kue Lapis Legit, Kue Apem yang berwarna-warni, kue Batak Pohul-pohul, Lappet terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan parutan Kelapa, Gula Merah, dibungkus dengan daun pisang dan dikukus. Kue-kue ini dimakan dengan didampingi Teh Manis dan Kopi hangat. Para orang tua dan muda-mudi Batak biasanya hadir dan duduk-duduk dikursi yang sudah disiapkan oleh tuan rumah sambil ngobrol, merokok dan minum Teh Manis atau Kopi hangat.
Acara makan kue bersama-sama dengan kami anak-anak Sekolah Minggu dilakukan setelah ibadah usai.
Biasanya kami anak-anak Sekolah Minggu sudah duduk rapi ditikar, diruang tamu dirumah Amangboru Lehet. Kami semuanya menunggu kedatangan truk Mang Aripin yang membawakan guru-guru Sekolah Minggu kami dari Sungailiat. Mang Aripin tidak pernah terlambat datang, selalu tepat waktu. Dari jauh kami sudah mendengar bunyi truk Mang Aripin menderu-deru, terseok-seok, dan kadang terbatuk-batuk menaiki jalan tanah kuning, menanjak dan tidak rata menujuh ke rumah Amangboru Lehet. Semangkin lama suara truk Mang Aripin semangkin dekat. Kami senangnya bukan kepalang. Semua orang berdiri menunggu Truk Mang Aripin sampai. Mang Aripin berhenti pas dijalan depan Rumah Amangboru Lehet. Guru-guru Sekolah Minggu laki-laki meloncat dari bak belakang truk sedangkan kakak-kakak perempuan Sekolah Minggu keluar dari depan Truk. Mereka duduk berdampingan dengan Mang Aripin. Mereka semuanya, termasuk Mang Aripin, menyalami orangtua-orangtua dan muda-mudi Batak kami satu persatu.
"Ikaak, nek bedoa, ok? Ni mamang lah bawak guru-guru sekula ikaaak," ("Kalian mau berdoa ya? Ini mamang sudah bawa semua guru-guru sekolah kalian"), kata Mang Aripin kepada kami yang berdiri keluar pintu, dorong-dorongan karena ingin melihat guru-guru kami yang baru datang dari kota Sungailiat. Kami anak-anak kampung selalu senang melihat kedatang guru-guru sekolah Minggu kami yang cantik-cantik, ganteng-ganteng, rapi dan wangi semerbak. Mereka datang dari kota Sungailiat, ibu kota kampung-kampung seperti kampung kami diseluruh Pulau Bangka.
Mang Aripin duduk di halaman beserta dengan bapak-bapak kami dan para pemudanya sambil melanjutkan obrolannya, ngopi dan merokok. Sedangkan mamak-mamak kami dan para pemudinya sibuk didapur, mengobrol sambil menyiapkan kue-kue bawaan masing-masing untuk dimakan nantinya.
Guru-guru Sekolah Minggu kami dipersilahkan masuk kedalam ruang beribadah. Kami semuanya duduk ditikar dengan perasaan senang, siap mendengar cerita Alkitab, permainan, menyanyi lagu-lagu baru gereja dan menggambar. Selain Alkitab dan Buku Ende untuk bernyanyi, Guru-guru sekolah Minggu kami membawa buku-buku gambar, pensil-pensil berwarna dan peralatan-peralatan lainnya. Dan inilah yang paling aku tunggu dan sukai, menggambar! Kami disuruh menggambarkan cerita Alkitab yang barusan didengar menurut versi masing-masing. Bisa saja gambar-gambar kami itu tentang Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Abraham dan tentang Tuhan Yesus Kristus yang menjelitkan mata orang buta sehingga bisa melihat, membangkitkan orang mati, menebus dosa umat manusia dengan cara disalibkan, mati, dan bangkit pada hari ketiga, naik ke Surga dan kemudian akan datang untuk kedua kalinya untuk menghakimi orang hidup dan mati. Semua gambar-gambar itu aku buat dengan penuh imajinasi. Kadang ditertawakan seluruh teman-temanku dan kadang dipuji oleh guru-guru kami.
Ada kebiasaan yang sering terulang berkali-kali menyangkut kedatangan kawan-kawan Islam dan Tionghoaku. Pada saat kami sedang bernyanyi sambil bertepuk tangan, disinilah kawan-kawanku; Siti, Rohilah, Sinar, Tini, Eko, Abdul, Udin, Toni dan Ahiung datang. Dari pintu aku lihat mereka berjalan bergerombol, berhimpit-himpitan malu, masuk ke halaman rumah Amangboru Lehet. Lama-lama mereka semuanya sudah duduk ditikar belakang kami, ikut mendengarkan kami bernyanyi dan bertepuk tangan. Lama kelamaan mereka pun ikut bernyanyi dan bertepuk tangan mengikuti kami semuanya.
"Siape budak-budak yang telambat dateng tadi tuu?" tanya salah satu guru Sekolah Minggu kami. Kami semua menjawabnya: "Diorang ni kawan kami, yuuk! Lah kupade kek diorang tadi e, ku dak pacak maen karena nek Sekula Minggu!" (Mereka ini kawan kami, kaak! Sudah kubilang ke mereka tadi bahwa aku tidak bisa main karena mau Sekolah Minggu!), teriakku dengan jelas!
"Ikaaak lah pamit lum kek mak-mak ikaak?" (Sudah permisi belum sama ibu-ibu kalian?) lanjut guru kami. "Laaaaah..." (Sudaaaah) jawab kawan-kawanku serentak dengan malu-malu. " Bebuleeeek...!" (Bohoooong!)" kataku tanpa suara sambil menoleh kebelakang, dan menjulingkan kedua mataku kearah kawan-kawanku. Mereka semuanya tertawa cekikikan. Acarapun dilanjutkan dan diakhiri dengan doa berkat dari guru-guru Sekolah Minggu kami.
Tidak ada satu orangtua kami yang melarang teman-teman Islam dan Tionghoaku datang, begitu juga dengan orangtua-orangtua mereka.
Para mamak-mamak kami dan para pemudinya telah mempersiapkan seluruh Kue-kue, Teh Manis dan Kopi hangat. Kami semua, termasuk kawan-kawan Islam dan Tionghoaku berbaris menujuh meja didapur. Namboru Lehet, istri Amangboru Lehet sudah berdiri didekat meja dan memberikan satu persatu piring kecil berisi dua kue dan segelas Teh Manis hangat. Kami semuanya kembali keruang tamu dan duduk ditikar, makan bersama-sama, sambil bercanda. Kawan-kawan Islam dan Tionghoaku melihat gambar yang kubuat tadi. Mereka tertawa cekikikan karena gambar wajah Nabi Nuh tidak mirip. "Ngape muke Nabi Nuh cem kek beruk ni?" ("Mengapa gambar wajah Nabi Nuh seperti monyet ini?"), ungkap Udin. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal sehingga ribut.
"Cube ikak ni jangan ribut geee. Makanlah kue-kue e tuh! Habisken semue Teh Manis e ok? Mahal e harge gule di pasar Tungtau!" ("Coba jangan ributlah. Makanlah kue-kuenya itu! Habiskan Teh Manisnya ya? Mahal harga gula di pasar Tungtau!"), suruh Namboru Lehet kepada kami semuanya. Kamipun nurut.
Seluruh guru Sekolah Minggu kami makan kue dan minum Teh dan Kopi hangat bersama-sama dengan para orangtua di halaman rumah Amangboru Lehet. Mamak-mamak dan para anak gadis silih berganti mengantarkan kue dan minuman manis hangat keseluruh tamu-tamu disana. Lama kelamaan kami pun ikut bergabung dengan mereka, ikut menikmati lucunya humor orang-orang dewasa. Disini kami anak-anak tidak boleh tertawa terlalu keras karena akan dimarahi atau diusir orangtua kami masing-masing karena takut dicap anak tak tahu adat!
Waktu pulangpun pun akhirnya tiba. Mang Aripin menghidupkan truk TTBnya. Seluruh guru-guru Sekolah Minggu kami berpamitan kepada seluruh orangtua kami. Kami semuanya berterimakasih. Guru laki-laki manjat naik ke bak belakang truk dan guru-guru perempuannya duduk didepan berdampingan dengan Mang Aripin. Kami semuanya melambai-lambaikankan tangan tanda perpisahan. Aku dan seluruh kawan-kawanku, melepaskan sepatu-sepatu baru kami dan berlari telanjang kaki dibelakang, mengikuti truk Mang Aripin yang merayap terseok-seok meninggalkan kompleks kami. Akhirnya kami berhenti diperbatasan jalan hutan dan memperhatikan truk Mang Aripin menghilang ditikungan jalan.
Kamipun kembali pulang dan bermain bersama-sama sampai saatnya pulang kerumah masing-masing untuk makan malam, belajar dan tidur.
Grace Siregar
Perupa
21 September 2010
Biografi Grace Siregar:
Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.
Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.
Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.
Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.
Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home