Anak Babi Tabungan Untuk Biaya Masuk Sekolah
Pindah kami ke Medan dari tugas di propinsi Maluku Utara. Suamiku ditugaskan di Banda Aceh, bekerja dengan LSM Internasional saat itu. Setelah segala urusan pindah selesai pulanglah kami sekeluarga ke kampung bapakku, Sipoholon, Tarutung. Senangnya kami minta ampun bisa berjumpa dengan seluruh kerabat besar Siregar disana. Dalam rangka menyambut kepulangan kami, dipotonglah seekor anak babi yg berumur 6 bulan milik sepupuku, anak Amanguda yaitu adik laki-laki bapakku. Sepupuku ini memiliki tiga orang anak.
Hidangan Saksang, Sop, Nasi Merah, Panggang dan sayur Pucuk Ubi Tumbuk telah disiapkan di tikar yang digelar diruang dapur rumah Amangudaku. Seluruh keluarga besar Siregar berkumpul bersama. Amanguda sebagai yang dituakan memimpin doa makan bersama sebagai ucapan syukur, dilanjutkan dengan sepatah dua kata sambutan untuk menyambut kedatangan kami sekeluarga.
Pas Saksang daging babi itu sedang ditaruh kedalam piring kami bertiga, tiba-tiba nyeletuklah anak perempuan yang berumur empat tahun dengan lantang, dalam bahasa Batak, yang artinya begini: "Gara-gara Amangtua dan Inangtua datang, jadi dipotong anak babi bapakku yg akan dijual bapak ke onan untuk bayar uang masuk sekolahku nanti!"
Kami sontak terdiam. Semua kerabat yang tidak menyangka akan protes itu tiba-tiba menyuruh anak sepupu kami itu diam sambil serentak bilang :"Seeeesssst, nggak boleh bilang kek gitu. Tokka!" Amanguda meminta maaf atas protes cucunya itu sambil terus menyuruh semua makan. Aku dan suami malah tersentuh dengan kejujuran omongan anak sepupu kami ini.
Akhirnya, sebelum pulang ke Medan, kami berikan uang lebih dari cukup kepada sepupu kami sebagai ganti uang tabungan anak babi untuk pendaftaran masuk sekolah anak mereka nantinya.
Sejak itu, setiap kami pulang ke kampung Sipoholon menjumpai seluruh kerabat besar bapakku Siregar, kami selalu membelikan seekor babi yang besar dan gemuk untuk dipotong dan dimakan bersama-sama tanpa mengganggu keuangan Amanguda kami. Amangooooiiii, portibiiiiii....!
Grace Siregar
Perupa
Hove, Juli 2009
Biografi Grace Siregar:
Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.
Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.
Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.
Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.
Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home