Tuesday, October 05, 2010

Musim Keremunting Di Bangka

Musim Kramunting adalah musim buah yang paling kami tunggu-tunggu sebagai anak-anak kampung di Bangka. Pohon-pohon kramunting ini tumbuh subur didalam hutan-hutan yang membatasi keempat kampung yang mengelilingi Kompleks rumah kami Tambang Timah Bangka (TTB) Ake. Kampung-kampung itu adalah kampung Simpang, kampung Simang Rumbiak, kampung Jelutung dan Kompleks TTB Deniang Laut. Pohon Kramunting tumbuh setinggi dada orang-orang dewasa, tumbuh secara berkelompok-kelompok. Daunnya berwarna hijau lumut muda berambut halus-halus lembut. Dahan-dahannya lebat dan buahnya berwarna hijau muda kalau belum masak dan kalau sudah masak akan berwarna merah legam kehitam-hitaman. Bentuk buahnya lonjong kecil, sebesar ujung Telunjuk. Dagingnya lembut, berbiji-biji kecil dan manis sekali.


Aku, abangku, adik-adikku beserta dengan teman-teman kami sekompleks bersekolah di SD Negeri 07 yang terletak diantara kampung Simpang dan kampung Jelutung. Kami berjalan kaki mengikuti jalan utama yang bertanah kuning, menanjak, tidak beraspal, berlobang-lobang dan tidak merata. Jalan kaki itu memakan waktu 40 menit untuk sampai kesekolah kami yang sederhana itu. Sekolah SD Negeri 07 adalah Sekolah Inpres (Intruksi Presiden) yang terdiri dari enam kelas, terbuat dari kayu bercat Kapur Putih kasar, beratap Seng berlobang-lobang sehingga bocor kalau hujan tiba dan beralaskan semen kasar yang sudah berlubang-lubang juga. Sebagai anak-anak kampung, kami tidak pernah merasa terganggu dengan situasi sekolah kami, yang penting kami bisa bersekolah, bermain bersama, dan berpetualang masuk kedalam hutan-hutan sepulang sekolah.


Dikedua sisi jalan utama inilah pohon-pohon Kramunting tumbuh subur, menjadi pagar penghubung antara kami dengan seluruh isi hutan lebat itu. Buah Kramunting ini menjadi asupan vitamin C kami anak-anak kampung. Pulang sekolah, saat perut lapar, kami menyerbu pohon-pohon kramunting ini, memetik buah-buahnya yang masak dan manis, memakan sepuas-puasnya sampai perut kami kenyang dan tidak lapar lagi.


Musim Kramunting sudah tiba. Sebelum kami sampai kerumah, kami sepakat untuk mencari kramunting bersama siang itu. Kami akan berkumpul jam 13.30 di bekas gudang cuci mobil yang terbengkalai yang kami panggil Gerasi. Jarak gerasi itu tidak terlalu jauh dari rumah kami. Tujuan kami kali ini adalah mencari kramunting di hutan yang membatasi kompleks TTB Ake dengan Kampung Jelutung. Hutan ini dipenuhi pohon-pohon Kramunting subur dan berbuah lebat. Hutan ini juga jarang dilewati oleh anak-anak kampung seperti kami. Kami semuanya bersemangat senang.


Biasanya, setelah makan siang, mamak kami mengharuskan kami untuk tidur siang barang sejam atau lebih. Jam 13.30 itu adalah jam tidur siang kami. Aku, abangku, dan kedua adik perempuanku sepakat untuk pergi menyelinap keluar tanpa permisi kepada mamak kami. Abangku telah menyiapkan tas sekolahnya, sedangkan aku, dan kedua adik perempuanku sudah menyiapkan tiga ember berukuran sedang. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kami berempat mengintip kekamar sebelah untuk melihat apakah mamak dan kedua adik kecil kami sudah terlelap tidur. Setelah yakin, kami berempat meloncat dari jendela kamar kami yang menghadap kebun belakang rumah, mengendap-endap dan lari sekencang-kencangnya, takut ketahuan mamak kami dan dipanggil pulang. Detak jantung kami berdegup kencang tak beraturan.


"Lame e ikak ni sampai, lungoi kami nunggu e!" ("Lama sekali kalian tiba, sampai bosan kami menunggu kalian!"), kata Udin dengan jengkel. "Nii ge kami dak permisi kek Mak kami. Kami gi e ge maling-maling e, Din." (Inipun kami pergi tanpa permisi dengan mamak kami. Kami pergi pun secara diam-diam, Din!"), bela abangku. Aku melihat Ahiung dan Asiuk membawa tas plastik besar milik mak mereka, Aji Ahiung, yang biasanya dipakai untuk berjualan disekolah kami. Sinar, Rohilah, Tini dan Siti membawa keranjang belanjaan anyaman plastik besar berwarna-warni, yang biasanya dipakai oleh emak-emak mereka berbelanja. Toni, Eko, dan Udin membawa tas sekolah masing-masing.


Kami berjalan kearah hutan dibelakang kompleks kami, melewati beberapa perkebunan Sahang milik para tetangga Melayu kami. Sahang dalam bahasa Melayu Bangka artinya Lada. Diakhir jalan setapak kecil sebagai pintu masuk ke hutan, kami melewati kebun sahang terakhir milik Mang Muharom. Mang artinya bapak dalam bahasa Melayu Bangka. Mang Muharom sedang berdiri ditangga, memetik sahang-sahangnya yang sudah matang. "Numpang lewat, mang ok?" teriak kami serentak. Mang Muharom berhenti sebentar dan melihat kearah kami. "Nek kemane ika, dak?" ("Mau kemana kalian, anak-anak?"), tanya Mang Muharom. "Kami nek nyarik buah Kramunting didalam hutan tu, maaang!" ("Kami mau mencari buah Kramunting didalam hutan itu, paaak!"), teriakku sambil menunjuk kearah hutan. Mang Muharom mengangguk-angguk sambil melanjutkan memetik sahangnya. Sedangkan kami berlalu memasuki hutan.


Didalam hutan itu terhampar pohon-pohon kramunting yang tumbuh subur, berkelompok-kelompok, berbuah lebat, masak dan berwarna merah legam kehitam-hitaman. Kami berlari kearah pohon-pohon Kramunting itu, berpencar-pencar, berebutan, memetiknya dan memasukkannya kedalam tempat bawaan kami masing-masing sambil memakannya. Kami senang, kami berteriak untuk melampiaskan rasa itu. Teriakan-teriakan kami ini berguna untuk mengusir ular-ular (yang mungkin) berada didekat kami. Kami saling memanggil, meminta supaya kawan-kawan lainnya datang, menyerbu pohon-pohon kramunting pilihan berbuah lebat.


Dari jauh kami mendengar teriakan gaduh saingan berat kami yaitu gerombolan Beruk-beruk yang meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya, mendahului kami. Beruk dalam bahasa Melayu Bangka adalah Monyet jelek. Kami semuanya serentak meniru suara beruk-beruk it. "Kuuuak, kuaak, kuaaaak.....! Huu....huuu....huuuu...!" sambil berputa-putar, menggaruk-garukkan badan kami, meniru gerakan Beruk-beruk itu. Kami tertawa terpingkal-pingkal. Terhibur!


Saingan berat lainnya adalah semut hitam besar tapi tidak menggigit. Sialnya semut-semut hitam ini suka masuk kedalam baju, jalan-jalan tanpa halangan keseluruh bagian badan kita sehingga kita meloncat-loncat kegelian, risih dan tidak merasa nyaman. Semut lainnya adalah semut merah besar yang kami sebut semut Krenggee. Gigitan semut krenggee ini terkenal sakit sekali. Biasanya mereka tinggal mengelompok diantara kramunting-kramunting yang sudah masak.


Untuk membuat sirik kedua adik perempuanku, aku memetik beberapa kramunting tergemuk dan termasak dan memasukkannya kedalam mulutku tanpa memeriksanya terlebih dahulu.

"Weeeuw ngelisep eeeee... Kramunting ku niii." (Wow, manis benar Kramuntingku ini."), pamerku kepada kedua adik perempuanku. Kedua adik perempuanku hanya melirik sebentar tanpa memperdulikan sikap kakak mereka. Tiba-tiba rasa kramunting itu berubah seperti rasa obat batuk hitam. Mataku berair karena ada rasa pedas yang asing didalam mulutku. Aku memuntahkannya ketanah. "Puuuiiihhh! Yeeaakk!" Aku membersihkan lidahku dengan tangan. Abang dan kedua adik perempuanku melihat, berkumpul bersama dengan diikuti oleh seluruh kawan kami. Abangku mengambil ranting kering, mencolek-colek kunyahan kramuntingku ditanah, mencari penyebab muntahan dari mulutku. Dia menemukan dan menunjukkan beberapa semut hitam yang kukunyah hidup-hidup bersama-sama dengan kramunting tadi.

"Tu lah men rakus igak, semut ge ka makan." ("Itulah kalau terlalu rakus, Semut pun kau makan."), ejek abangku. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal, terhibur kecuali aku.


Kami semangkin masuk kedalam hutan. Angin kencang meniupkan pohon-pohon besar menjulang tinggi sehingga dahan-dahan saling bergesekan dan mengeluarkan suara ribut yang mengasyikan. Bawaan kami sudah penuh. Kami tiba di kampung Jelutung, dibatas hutan terakhir, beristirahat, duduk berteduh dibawah pohon Cempedak. Kami berkeringat, kecapekan. Tenggorokan-tenggorokan kami kering, kehausan. Tidak ada satupun dari kami yang membawa air minum.


Kami sepakat untuk pulang melewati Kolong Bijur di kampung Simpang Rumbiak, 40 menit berjalan kaki dari Kampung Jelutung. Kolong dalam bahasa Melayu artinya sungai kecil sedangkan Bijur artinya Ubi Jalar. Sesampainya kami di Kolong Bijur, kami meletakkan bawaan kami dibawah pohon, berlari, berteriak kesenangan dan nyebur ke sungai. Kami berenang, main semprot-semprotan sambil menyelam minum air sampai haus hilang. Ditengah-tengah Kolong Bijur, kami melihat dua buah batang pohon Gabus terapung-apung. Kami berenang, berlomba siapa yang sampai duluan mengambil kedua gabus tersebut. Setelah sampai kami membagikan kedalam dua kelompok, mendorong gabus masing-masing keseberang sungai dimana bagian pohon gabus itu dipotong. Kami memanjatnya satu persatu, meloncat dengan gaya salto masing-masing, bergantian, sampai mata kami merah, sampai kami puas dan akhirnya pulang.


Sesampainya di Kompleks, kami berpisah, pulang kerumah masing-masing. Kami berlari menujuh kerumah kami. Dari jauh kami melihat kedua adik kecil kami sedang bermain dihalaman. Mamak kami sedang duduk dibawah teduhnya pohon Jeruk didepan rumah kami, sambil ngobrol-ngobrol dengan Namboru Lehet Situmeang, tetangga depan kami. Namboru dalam bahasa Batak artinya Bibik.

"Maaaaak! Maaaak! Kramuntiiing, maaak!" Teriak kami berempat sambil menunjukkan bawaan kami masing-masing. Kedua adik kecil kami senang bukan kepalang melihat kami pulang. Mereka berdua berlari menjemput kearah kami. Tadinya mamak kami mau marah karena pergi tanpa permisi tetapi tidak jadi. Kami semuanya ikut berkumpul, duduk dibawah pohon Jeruk bersama-sama dengan mamak kami, Namboru Lehet dan beberapa ibu tetangga yang berdatangan satu persatu. Semuanya memakan dan menikmati kramunting hasil pencarian kami di hutan. Kedua adik kecil kami pun sampai berebut memakan kramunting-kramunting itu. Kami menunjukkan lidah kami masing-masing yang berwarna merah gelap kepada kedua adik kecil kami itu. Mereka berdua tertawa senang dan terkagum-kagum melihat kepintaran abang dan kakak-kakaknya.


Malamnya, abangku, aku dan kedua adik perempuanku tidak bisa tidur karena perut kami gembung. Kami berempat tidak bisa berak karena tahinya keras, berisi biji-biji Kramunting. Perut kami kram dan sedikit sakit. Kami membangunkan bapak dan mamak kami, menceritakan apa yang terjadi. Bapak dan mamak kami berdiskusi dalam bahasa Batak, mencari solusi manual supaya kami bisa berak dengan normal kembali.

"Tu lah, mamak ken lah bilang, ikak jangan banyek igak makan kramunting e. Akhir e, ikak berempat dak pacak birak, kan?" (Itulah mamak kan sudah bilang jangan terlalu banyak makan kramunting. Akhirnya kalian berempat tidak bisa berak, kan?"), omel mamak kami. Kami mengikuti bapak dan mamak kami kedapur. Mamak kami mengambil sabun batangan berwarna hijau, merek Kompas, untuk mencuci piring dari dalam lemari di gudang. Memotong dan meruncingkan ujungnya seperti bentuk pensil. Kami berempat disuruh masuk ke kamar mandi. Mamak kami membasahi ujung sabun berbentuk pensil lancip tersebut, kemudian mendorong tahi keras didubur kami satu persatu. Pada saat mau berak, bapak kami mengangkat kami satu persatu untuk berjongkok di WC. Hasilnya? Kami berempat berak kembali dengan normal. Legah!


Kejadian-kejadian susah berak ini terulang lagi setiap musim kramunting tiba, disepanjang masa kanak-kanak kami di Pulau Bangka.


Grace Siregar

Perupa

5 Oktober 2010


Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.


Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.


Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.









1 Comments:

Blogger Desmi Togatorop said...

harimotting juga salah satu buah yang saya cari jika pulang ke kampung oppung di paranginan, sepanjang perjalanan ke simpang muara saya dan adek adek saya mencari harimotting. sehingga tidak terasa perjalanan yang ditempuh, pada masa itu hanya setiap hari selasa angkutan umum masuk ke paranginan.

senang bisa mampir dan membaca di blog inang, salam kenal dari partarutung :-)

mauliate

7:53 AM  

Post a Comment

<< Home