Layar Tancap Di Bangka
Layar tancap atau layar tancep dalam bahasa Melayu Bangka adalah pemutaran film gratis yang paling kami tunggu-tunggu sebagai anak-anak di Kompleks Tambang Timah Bangka (TTB) Ake. Layar tancep adalah kegiatan pemutaran film yang diselenggarakan oleh perusahaan Timah Bangka kepada seluruh pegawai-pegawai dan keluarganya yang tinggal menyebar diseluruh pelosok kampung atau hutan pedalaman di Pulau Bangka. Pemutaran film gratis ini dilakukan secara bergilir dan tidak pernah diberitahu terlebih dahulu kepada masyarakat yang akan didatangi petugas layar tancap ini. Mereka datang tiba-tiba seperti banjir bandang menghantam daerah rendah layaknya!
Bukan hanya kami saja yang menyukai pertunjukkan film layar tancep ini, tetapi seluruh masyarakat yang tinggal dii kompleks TTB Ake, bahkan seluruh masyarakat tiga kampung yang mengelilingi kompleks kami, yang dibatasi oleh hutan yang lebat. Ketiga kampung itu adalah kampung Simpang, kampung Simpang Rumbiak dan Kampung Jelutung. Sementara Kompleks TTB Deniang laut memiliki jadwal layar tancep tersendiri.
Pemutaran film layar tencep ini dilakukan secara manual. Dua balok kayu besar dan tinggi akan ditancapkan ditanah seperti tiang goal sepak bola. Setelah itu dibentangkanlah layar film berwarna putih atau krem yang terbuat dari bahan kain putih tebal dikedua tiang atas dan bawahnya. Panjang kain layar tancep ini kira-kira 8M dan lebarnya 4M. Besar sekali. Proyektor film berukuran besar dipasang diatas kepala truk tersebut. Tentu tinggi rendahnya proyektor disesuaikan dengan tingginya layar tancep. Proyektor ini dipasang pas dibelakang penonton. Pemutaran film layar tancep ini biasanya diputar ditengah-tengah lapangan sepak bola pada malam hari sekitar jam 20.00 WIB.
Malam itu, kira-kira jam 19.30 WIB terdengar suara truk TTB Mang Aripin memasuki kompleks kami. Semua masyarakat keluar dari rumahnya untuk memastikan apakah yang datang itu truk Mang Aripin atau bukan? Kalau truk Mang Aripin yang datang berarti akan diputar film gratis layar tancep di kompleks kami. Kami anak-anak berlari menujuh truk Mang Aripin, menyambutnya, bersorak sorai kegirangan. Biasanya Mang Aripin dan petugas layar tancep akan tersenyum-senyum sambil melambai-lambaikan tangan kearah kami. Kami akan berlari mengikuti truk Mang Aripin dari belakang. Mang Aripin akan mengeluarkan kepalanya sambil berteriak: "Budak-budak, ikak gi keliling kompleks ikak ni, bilang ade pilem layar tencep sebentar agik, ok? Ni Mamang lah bawa urang-urang pilem e...!" (Anak-anak, pergilah kalian berkeliling kompleks rumah kalian ini untuk kasih tahu bahwa film layar tancep akan diputar sebentar lagi ya? Nih, mamang sudah membawa orang-orang filmnya...!").
Sebelum truk Mang Aripin sampai ditengah lapangan sepak bola, aku, abangku dan kawan-kawan akan berlari kerumah mengambil sepeda milik bapak dan mamak masing-masing. Aku mengambil sepeda laki-laki bapakku yang mempunyai besi ditengah-tengahnya sehingga badanku menyamping kekiri saat mengincangnya. Abangku mengambil sepeda Unta milik mamak kami yang tidak mempunyai besi ditengah-tengahnya sehingga abangku bebas bergerak mengincang.
Kami mengincang sepeda-sepeda kami, menjemput kawan-kawan lainnya sambil berteriak sekuat-kuatnya:"Pilem layar tancep lah dataaaang...!! Pilem layar tanceeep lah dataaaaang!! Pileeem!! Layar tanceeep!!" Kami berteriak sekuat-kuatnya, sampai terasa urat dileher mau putus tetapi kami tetap bersemangat memberitahukan ke seluruh masyarakat di kompleks kami.
Pada putaran kedua, kami melihat dari jauh lampu-lampu berdatangan dari arah jalan utama yang menghubungkan kompleks TTB Ake dengan ketiga kampung tetangga kami yaitu kampung Simpang, Kampung Simpang Rumbiak dan kampung Jelutung. Mereka berduyun-duyun datang dengan bersarung untuk mengusir rasa dingin nantinya dengan bersepeda, berjalan kaki, atau menumpang mobil Pownis milik Asuk Aliung atau Asuk Liauw. Biasanya mereka lebih tahu duluan tentang kedatangan layar tancep ini karena truk Mang Aripin selalu melewati ketiga kampung tersebut. Aku, abangku dan kawan-kawanku semuanya menunggu para tetangga kami diperbatasan jalan utama. Kami semuanya senang karena kompleks kami ramai kembali.
Salah satu tetangga kami yang datang adalah Ahiung dan Asiuk yang digonceng dibelakang sepeda oleh bapak mereka, Asuk Ahiung. Sedangkan Aji Ahiung datang dengan mengonceng kakak perempuan Ahiung, Asian. Kedua orangtua Ahiung datang sambil membawa jualan mereka masing-masing. Asuk dan Aji Ahiung menjual Kemplang Ikan dengan Cuka Tauconya yang enak sekali, Kacang Tanah, Kue Satu, Kue Rintak, Roti Isi atau Roti Manis, Es Bungkus kacang Hijau dan sebagainya.
Aku dan abangku pulang kerumah mengantar sepeda. Kami semuanya akan membawa sesuatu ke lapangan sepak bola untuk menonton. Aku dan abangku akan pergi duluan mencari tempat yang pas untuk menonton sambil membawa dua kursi rotan untuk bapak dan mamak kami. Setelah itu abangku akan menjaga tempat kami dan aku akan kembali kerumah menjemput kedua adik perempuanku yang akan membawa bantal, sarung yang diikatkan didalam tikar sebagai alas kami menonton nantinya. Mamak dan bapak kami akan mengendong kedua adik kami yang lebih kecil sambil membawa obat nyamuk bakar Baygon. Inilah alat-alat yang kami butuhkan untuk menonton Layar tancep. Ritual membawa sebagian peralatan rumah ini juga dilakukan oleh seluruh tetangga-tetangga kami. Suasananya pun mirip dengan suasana tamasya dadakan.
Sebelum film layar tancep diputar, hampir semua anak-anak diberi jajan Rp.25 oleh orangtua masing-masing, termasuk mamak kami. Kami akan menyerbu Asuk dan Aji Ahiung yang saat itu sedang sibuk melayani permintaan anak-anak lain. Yang paling kami sukai adalah belanja kemplang ikan bercuka tauco buatan Aji Ahiung. Kemplang dalam bahasa Melayu Bangka artinya kerupuk yang dimasak dengan pasir panas, bukan dengan minyak goreng. Aku dan kedua adik perempuanku sibuk memilih kempalng ikan dari plastik besar bening tua. Kami memilih kemplang tebal dan lungkum. Lungkum dalam bahasa Melayu Bangka artinya berlekuk dalam dan tidak rata. Setelah dapat 6 kemplang maka kami memberi cuka sebanyak-banyaknya dan menghirupnya. Enaknya bukan main. Sangkin seringnya dibasahi oleh cuka tauco itu maka kemplang berlobang. Aji Ahiung akan menegur kami. "Cube ikak ni jangen banyek igak ge merik cukak e tuh. Abis lah cukak e tuh kelak sementara kemplang jualan Aji agik banyak." (Coba jangan terlalu banyak memberi cukanya. Nanti cukanya habis sementara kemplangnya masih banyak,"). Abang kami membeli es bungkus dan kacang tanah untuk bapak kami.
"Yo budak-budak, jangan ngerentang tiker e deket igak kek layar. Kelak mate ikak bute e? Yo, munduuur!" (Ayo, anak-anak jangan menggelar tikarnya terlalu dekat dengan layarnya. Nanti mata kalian buta lho? Ayo, munduuur!"), teriak salah satu petugas layar tancep melalui speaker halo-halonya. Ibu-ibu memanggil anak-anak mereka masing-masing untuk menggelar tikarnya sedikit lebih jauh dari layarnya.
Pemasangan layar tancep hampir selesai. Seluruh masyarakat sudah duduk dengan tenang dikursi dan tikar masing-masing. Ada juga yang memilih berdiri dibelakang, dekat dengan truk Mang Aripin yang dipakai sebagai sandaran proyektor film. Mereka ini adalah pasangan muda-mudi yang sedang pacaran. Aku dan seluruh saudara-saudaraku duduk ditikar, berselimut sambil memakan kemplang-kemplang kami. Obat nyamuk bakar Baygon sudah dihidupkan oleh bapak kami dan ditaruh dibawah kedua kursi rotan kami. Kedua adik kami yang lebih kecil sudah tidur nyenyak, beralaskan bantal sebelum film diputar.
Disebelah kiri kami duduk kawanku Rohilah beserta dengan keluarganya. Disebelah kanan kami telah duduk Bik Rumiah dan anak-anaknya. Bik Rumiah duduk sambil merokok rokok merk Hero. Dibelakang kami sudah duduk keluarga Amangboru Lehet Situmeang. Didepan kami duduk kawanku Tini dan keluarganya, bapak dan ibu Muharom. Semuanya menunggu film layar tancep diputar. Biasanya kami tidak tahu film apa yang akan diputar. Film itu ditentukan dari kantor pusat Timah Bangka di Sungailiat.
Film-film yang diputar biasanya film-film Indonesia seperti film komedi yang dibintangi Binyamin S, Ratmi B29, Titik Sandora, Titik Puspa, Sofan Sofyan, Bing Slamet dan seterusnya atau film-film Kung Fu, film-film India dan film-film Cowboy Amerika. Apapun yang diputar, kami semuanya akan senang sekali.
Setelah diberi kode tanda film diputar dengan munculnya gambar bulatan ditengah-tengah layar dengan diikuti hitungan mundur dari 10 ke 0, maka dimulailah film itu. Kali ini film komedi yang dibintangi oleh Benyamin S dan Ratmi B29 yang diputar. Gambar pertama muncul, belum ada cerita, baru muka Benyamin S dan Ratmi B29 yang terlihat, kami semua, seluruh masyarakat gabungan keempat kampung yang memenuhi lapangan sepak bola tersebut tertawa terpingkal-pingkal, dari awal sampai dengan akhir cerita. Seluruh isi perut diaduk, air matapun (kadang) sampai meleleh oleh lucunya lakon Benyamin S dan Ratmi B29.
Kalau film India yang diputar, maka seluruh ibu atau para wanita mudanya akan terisak-isak menangis, mengikuti cerita cinta laki-laki muda, tampan, baik hati tapi miskin ditolak mentah-mentah oleh keluarga kekasih perempuannya yang kaya raya itu. Penonton laki-lakinya, yang terdiri dari bapak-bapak dan pemudanya, berpura-pura tidak terbawa oleh emosi. Diam-diam saja menonton sambil merokok. Membiarkan para wanita mengikuti emosi yang menyedihkan, merasakan pilunya jalan percintaan di film India itu karena persoalan kemiskinan. Seringkali terdengar siulan nakal dari penonton-penonton lainnya untuk meledek. Kalau siulan ledekan itu kena dengan adengannya maka seluruh penonton dilapangan sepak bola ini akan tertawa bergemuruh. Para ibu-ibu dan pemudinya akan terhibur saat pemeran laki-laki utama dan perempuannya, bertemu, berkejar-kejaran sambil bernyanyi-nyanyi, mengungkapkan perasaan hati masing-masing, bersembunyi dari satu pohon ke pohon yang lainnya, diguyur oleh hujan lebat sehingga basah kuyub.
Terus terang waktu aku kecil dulu, aku tidak pernah mengerti adengan yang satu ini. Perasaan saat tetangga belakang kami, bang Ahmad, putus dengan pacarnya, ayuk Nur, tidak pernah punya adengan seperti ini. Bang Ahmad sedih saja, tidak berkejar-kejaran dengan ayuk Nur, dari satu pohon ke pohon lainnya sambil menari-nari kesedihan sambil diguyur hujan lebat. Bang Ahmad putus dan putusnya dia dengan ayuk Nur menjadi bahan perguncingan sekampung kami, Titik.
Kalau film Kung Fu yang diputar, saat para tokoh baik dan jahatnya berkelahi, maka bergemuruhlah seisi lapangan bola oleh suara para bapak-bapak dan lelaki-lelaki mudanya mendukung yang benar. "Awaaas! Ade musuh ka dibelakang tuh mawak paraaang!" (Awas! Ada musuh dibelakangmu tuh membawa parang!"), teriak mereka memberitahu jagoannya dilayar. Entah mengapa, setiap ada penonton yang berteriak memberitahu, maka jagoan kungfunya selalu mendengar dan menoleh kebelakang sambil memberi tendangan balasan atau mengelak serangan musuhnya. Seluruh penonton pun tegang! Rasa tegang ini secara tidak sadar membuat semuanya berteriak mengikuti bunyi suara loncat tendangan tokoh utama di film tersebut :"Ciiaaat! Ciiiiiaaaaat! Bak! Bik! Buk! Huh! Eeeiiits!" Sebagian penonton bahkan meniru gerakan-gerakan kungfu sendiri sehingga membuat sebagian penonton yang sadar tertawa geli. "Huuush! Diem gee!" (Huush, diamlah!"), tegur penonton yang merasa terganggu.
Kalau film-film Cowboy yang diputar, semua penonton akan berseru-seru sambil berteriak-teriak mengikuti suara derap kaki-kaki kuda saat terjadi penyerangan Indian kepada kelompok masyarakat Amerika didalam kereta-kereta kudanya, berlindung dari serbuan panah-panah Indian. Biasanya serangan ini terjadi didaerah gurun gersang dan panas. "Mane anak mudak e? Dimane die sembunyik e? lah mati lum die e? Men die dak keluar dari tempet sembunyik e, diorang semue e pasti mati budu dipanah urang-urang Indian tuh!" (Mana tokoh utamanya? Dimana dia bersembunyi? Sudah mati belum dianya? Kalau dia tidak keluar dari tempat sembunyiannya, mereka semuanya pasti akan mati bodoh dipanah oleh orang-orang Indian tuh!"), celetuk beberapa penonton yang tidak sabar menunggu serangan balik pemeran utamanya. Seluruh lapangan sepak bola ini akan bergemuruh oleh suara-suara penonton yang terbawa suasana perang bercampur dengan suara-suara gaduh dari speaker-speaker layar tancep itu. Sebagian akan meniru suara teriakan-teriakan orang-orang Indian: "Wu, wu, wu, wu, wu, wuuuuuuu.....!" yang berlari ketakutan, menghilang, akibat serangan balik bertubi-tubi dari pemeran utamanya.
Film layar tancep selesai diputar, seluruh masyarakat puas, terhibur oleh cerita yang diputarkan. Semua berdiri, menggerakkan badan kekiri dan kekanan supaya urat-urat yang tegang tadi lemas kembali. Para laki-laki dan anak-anak mudanya akan membantu para pekerja layar tancep membongkar kedua tiangnya, melipat layar lebarnya, mengemas proyektornya dan memasukkannya kedalam kotak-kotak besar yang tersedia, kemudian mengangkat dan mengatur peralatan-peralatan itu kedalam truk Mang Aripin. Seluruh petugas layar tancep naik kedalam truk belakang sambil mengucapkan permisi. Mang Aripin membunyikan klason truknya tiga kali tanda dia akan berangkat menujuh Sungailiat.
Kami semuanya mengucapkan banyak-banyak terimakasih, melambai-lambaikan tangan kepada Mang Aripin dan seluruh pegawai layar tancep yang berdiri dibelakang truk.
Kamipun berkemas, menggulung tikar-tikar, mengangkat kursi-kursi, membawa bantal dan selimut pulang kerumah. Bapak dan mamak kami mengendong kedua adik kami yang tidur nyenyak kembali kerumah. Besoknya, kami berebut bangun pagi, pergi dan menyusuri lapangan sepak bola untuk mencari uang-uang recehan yang terjatuh atau hilang semalam. Rezeki nomplok yang diberikan oleh layar tancep!
Grace Siregar
Perupa
12 Oktober 2010
Biografi Grace Siregar:
Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.
Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.
Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.
Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.
Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home