Kongian yang lebih dikenal dengan sebutan Gong Xi Fat Choi ini adalah hari raya umat Kongfucu yang dirayakan secara meriah oleh penduduk Tionghoa dan masyarakat pada umumnya di Bangka. Kami semua menyebutnya hari raya Kongian. Bukan hanya kami yang sangat menikmati hari Kongian ini, juga orangtua-orangtua kami. Hari Kongian di Bangka menjadi hari libur tak resmi saat itu. Semua diliburkan, tutup, layaknya hari libur nasional. Walaupun agama Kongfucu baru diresmikan sebagai agama resmi Negara pada Juni 2000 oleh Presiden RI Gus Dur, tetapi kami masyarakat Bangka, dari dulu, dari sejak kami kecil-kecil dulu, sudah menganggap Kungfucu adalah agama resmi para tetangga-tetangga Tionghoa kami. Tidak ada bedanya dengan perayaan-perayaan hari besar keagamaan lainnya seperti Hari raya Lebaran Islam dan Hari Raya Natal dan Tahun baru Kristen.
Biasanya kami pergi Kongian kerumah kawan-kawan Tionghoa kami secara berkelompok, berjalan kaki dari kampung ke kampung lainnya. Sedangkan para orangtua kami pergi berkelompok dengan mengendarai Vespa PX ataupun bermotor Honda Bebek. Walaupun keempat kampung yang berdekatan dengan Kompleks perumahan Tambang Timah Bangka (TTB) Ake dimana kami tinggal, sudah bercampur baur antara suku Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, Bugis, dan Buton, tetapi Kampung Simpang Rumbiak dan Kampung Simpang adalah kampung yang paling banyak didiami oleh suku Tionghoa Bangka.
Orang Tionghoa Bangka, kami panggil Urang Cin (Orang Cina) dalam bahasa Melayu. Seperti kebanyakan keturunan-keturunan Tionghoa di Indonesia, Urang Cin kebanyakan membuka usaha dagang di pasar Tungtau, pemiliki usaha angkutan umum yang kami sebut Uto Pownis berukuran besar, terbuat dari kayu, berwarna merah, sebagai alat transportasi umum masyarakat di Bangka. Atau pedagang keliling bersepeda atau bermotor yang menjual Sayur-sayuran, Ikan, Daging-dagingan dan Tahu segar buatan sendiri. Biasanya pedagang keliling ini menjajakan dagangannya dari satu rumah kerumah lainnya, sampai masuk dari kampung satu ke kampung lainnya. Bahkan menjual Es Bungkus dan Kemplang Ikan Tenggiri ke sekolah-sekolah terdekat. Urang Cin Bangka selain berbicara dalam bahasa Melayu, mereka juga berkomunikasi dalam Bahasa Cin yang kami sebut bahasa Kek. Bahasa Kek pun menjadi salah satu bahasa penting di Pulau Bangka selain bahasa Melayu dan Indonesia. Semua masyarakat Bangka terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu dan bahasa Kek, sudah campur aduk. Sifat urang Cin Bangka sangat merakyat, pekerja keras yang ulet dan membumi.
Urang-urang Cin Bangka beribadah di klenteng-klenteng mereka sendiri. Biasanya Klenteng ini dirikan di depan rumah mereka. klenteng-klenteng bergaya arsitektur Cina ini beratap genteng berwarna Merah, dindingnya dicat putih bersih, dihiasi oleh lukisan-lukisan Bunga Teratai berwarna Merah Jambu merekah dengan dihiasi ornamen-ornamen berwarna Merah dan kuning keemas-emasan. Ditembok setiap dinding dibuat relief Ular Naga. Ada dua patung Singa gagah berdiri disamping kiri kanan pintu masuk Klenteng. Klenteng-klenteng ini tenang sekali dan selalu terisi dengan lilin-lilin tinggi besar berwarna merah menyala. Klenteng ini menjadi salah satu rumah ibadah yang dihormati dan tidak pernah diganggu, seperti halnya Mesjid dan Gereja diseluruh Pulau Bangka. Bagi urang-urang Cin yang kurang mampu, mereka pergi bersembahyang di Klenteng-klenteng tua terpelihara, yang terletak di sudut atau dipinggir jalan, dibawah pohon besar yang rimbun dan teduh. Besar kecilnya Klenteng milik pribadi ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Kalau keluarga Cin ini kaya, maka Klentengnya dibangun besar dan megah. Bila keluarganya biasa-biasa saja, seperti keluarga teman kami Ahiung, maka Klentengnyapun dibangun lebih kecil dan sederhana, tanpa mengurangi isi atau simbol relijius keagamaannya. Setiap aku, abangku dan adik-adikku dibawa bertamasya ke Pasar Tungtau dengan naik truk Mang Aripin atau naik Uto Pownis asuk Aliong atau Asuk Liauw, mataku tidak pernah bosan menikmati setiap keunikan Klenteng-klenteng yang berwarna-warni, berdiri angun didepan setiap rumah disepanjang jalan yang kami lewati sampai ke Pasar Tungtau di Sungailiat.
Ahiung, kawan urang Cin kami tinggal di Kampung Simpang Rumbiak. Rumahnya berdekatan dengan rumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw, pemilik usaha angkutan Uto Pownis yang kaya raya itu. Keluarga Ahiung adalah keluarga pekerja biasa yang ulet. Bapak dan mamak Ahiung kami panggil Asuk dan Aji Ahiung. Orangtua Ahiung adalah pedagang keliling bersepeda. Bapak Ahiung berjualan Sayur-sayuran, Ikan, Daging-dagingan dan Tahu segar. Sedangkan Aji Ahiung berjualan jajan-jajanan seperti kemplang Ikan, Es Bungkus Kacang Hijau di sekolah-sekolah termasuk disekolah kami. Ahiung memiliki seorang kakak perempuan bernama Asian yang pintar masak dan adik laki-lakinya bernama Asiuk. Walaupun keluarga Ahiung tidak kaya seperti Asuk Aliong dan Asuk Liauw, tetapi mereka selalu membuat kue-kue yang banyak dan enak. Mereka juga menyiapkan Angpao Rp.50,- yang akan diberikan kepada tamu-tamu, teman-teman anak mereka seperti kami ini. Waktu itu Rp.50,- termasuk jumlah yang lumayan besar untuk ukuran anak-anak. Jumlah itu senilai dengan uang Rp.5000 saat ini.
Aku beserta dengan kawan-kawanku Udin,Toni, Eko, Siti, Rohilah, Sinar dan Tini sepakat untuk berkumpul dibawah pohon Jeruk didepan rumahku pada jam 10.00 pagi. Berhubung kami akan berjalan kaki kerumah Ahiung di Kampung Simpang Rumbiak, maka kami harus berkumpul lebih awal dari biasanya. Perjalanan ini memakan waktu 40 menit. Seperti biasa kami pun berpakaian yang berkantung saku besar dan banyak untuk mengantongi kue-kue Kongian nantinya. Posisi rumah Ahiung berada sedikit kedalam. Setelah berjalan selama 40 menit, melewati hutan lebat dikiri kanan jalan utama bertanah kuning, tak beraspal, dan tidak rata, akhirnya kami belok kiri; mengikuti jalan setapak kecil disamping kolam alam kecil berawa, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon Rumbia besar dan lebat. Makanya kampung Ahiung disebut Kampung Simpang Rumbiak.
Kebanyakan urang-urang Cin di kampung Simpang Rumbiak memiliki hewan peliharaan Babi selain Ayam dan Bebek. Ternak Babi ini berkeliaran dimana-mana secara berkelompok, sehat dan bersih, sama dengan kami. Setelah melewati beberapa rumah urang Cin lainnya, yang rapi dan berhalaman bersih disapu, akhirnya sampailah kami dihalaman rumah Ahiung yang dikelilingi oleh pohon-pohon Kelapa yang menjulang tinggi. Dihalaman rumah mereka tumbuh pohon Jambu Bol Merah dan Putih, pohon Jambu air, pohon Rambutan, pohon Cempedak dan pohon Buah Rambai semacam Duku tetapi lebih asam. Pintu rumah Ahiung terbuka tetapi sepi. Photo kedua kakek dan nenek Ahiung yang telah meninggal diletakkan di atas altar yang dipakukan didinding kayu ruang tamu bertuliskan Aksara Cina dengan didampingi beberapa buah segar seperti Apel, Jeruk dan Anggur. Ditengah-tengah kedua foto itu diletakkan beberapa dupa Garu yang menyala dan mengeluarkan asap. Urang Cin dikenal sangat setia dan hormat kepada orangtua-orangtua mereka selama hidup, pun setelah mereka meninggal. Gorden jendela dan gorden pintu pembatas antara ruang tamu dan dapur berwarna merah muda terbang kemana-mana ditiup angin.
"Ahiiiuuuung...," panggil kami serentak. Tak ada sahutan balik. Kami melihat kue-kue Kongian bermacam-macam tersusun rapi didalam toples-toples yang dialasi oleh kertas-kertas minyak berwarna-warni seperti Merah, Kuning, Putih, Biru, dan Merah Muda diatas meja. Kami tidak berani masuk. Kami membalikkan badan kehalaman yang sudah bersih disapu. Hanya ada beberapa anak Babi berkeliaran lewat didepan kami. "Kurase, Ahiung daknek terimak kite betamu keruma e," ("Kurasa Ahiung tidak mau kita bertamu kerumahnya"), kataku dengan bimbang sambil celingak-celinguk melihat keberbagai arah. Tiba-tiba Sinar, anak keturunan Buton, berbisik sambil menunjuk ke Klenteng dibawah pohon Jambu Bol yang rindang. Klenteng itu sepengetahuan kami tidak pernah ada dan sepertinya baru didirikan. Jarak antar Klenteng dan rumah keluarga Ahiung terbilang agak jauh sedikit dari samping rumah Ahiung. "Yok, kite kesane, ngeliet siape tau diorang tenga sembahyang," ("Ayo, kita kesana, melihat siapa tahu mereka sedang sembahyang"), ajakku serentak dengan Eko, anak laki-laki Sunda, yang rumahnya pas berada dibelakang rumah teman kami Lehet Situmeang. Kamipun bergerak ke Klenteng itu. Dari dekat kami mulai mencium bau Dupa Garu. Ternyata keluarga Ahiung sedang sembahyang Kongian didalamnya. Kami menunggu diluar, agak jauh dari pintu masuk Klenteng, berjongkok dibawah pohon Rambutan yang berhadapan dengan pintu Klenteng mereka yang terbuka.
Kami memperhatikan dengan diam dan melihat dengan jelas keluarga Ahiung sedang sembahyang. Mereka berdiri sejajar, dimulai dari Asuk, diikuti Aji, kemudian Asian, Ahiung dan terakhir adik bungsunya, Asiuk. Mereka menggenggam tiga Garu, menunduk berkali-kali sambil mengangkat Garu digengaman masing-masing, sembahyang kearah Altar Kongfucu dengan tenangnya. Setelah berdoa, mereka saling salam-salaman mengucap Selamat Kongian.
Pas mereka keluar, kamipun berdiri, berhimpit-himpitan, tersenyum-senyum malu karena kami adalah orang pertama yang bertamu kerumah Ahiung. "Lah lame ok ikak datang e?" ("Sudah lama kalian tiba ya?"), tanya Asian dengan tersenyum senang. Ahiung dan Asiukpun senang sekali melihat kami, teman sepermainan mereka didalam hutan-hutan sana. Mereka bertiga memakai baju-baju baru dan bersepatu baru yang bagus pula tetapi tidak kesempitan. Kami pun menyalami Asian, Ahiung dan Asiuk bergantian sambil mengucapkan Selamat Kongian.
Kami berjalan bersama-sama dan disuruh masuk keruang tamu yang berisi toples-toples kue bermacam-macam. Terus terang, kami semuanya lapar, haus dan berkeringat karena berjalan kaki. "Ikaak, nek minum ape? Siti (tulisan City), Fanta, ape Coca Cola?" ("Kalian mau minum apa? Siti (tulisan City), Fanta atau Coca Cola?"), tanya Asian. Kami semuanya serempak menyahut "Siti, yuuk." Ahiung menyuruh kami membuka dan makan kue-kue Kongian yang tersedia didepan kami. Ada kue Tar Nanas, Kacang Atom masak tepung, Getes, Kemplang, Kerupuk Udang, kue Sempret, kue Gulung, kue Semprong, kue Rintak, kue Satu yang terbuat dari tepung kacang Hijau berwarna putih, manis dan berbentuk daun dan banyak lagi. Kami makan dengan semangat sekali. Sampai ada satu dua kue berjatuhan dilantai. Ahiung tertawa cekikikan melihat kebarbaran kami semuanya. Asian keluar membawa minuman kesayangan kami, Siti, digelas-gelas berwarna-warni yang dikasih pecahan-pecahan Es Batu didalamnya. Kami meminumnya serentak, merasakan nikmatnya soda dingin manis yang menggelitik-gelitik tenggorokan kami, menyeruputnya sampai habis seperti minum minuman terenak yang pernah dibuat didunia ini.
Ahiung dipanggil kakaknya Asian dari dalam dapur dan dia keluar membawa dua piring berisi kue lapis Lengit, Bolu Gulung, Bolu Kukus berwarna hijau dan Kue Apem berwarna-warni. Tanpa malu-malu kami berebutan mengambil kue-kue basah tersebut. Ahiung dan Asiuk pun ikut makan bersama-sama dengan kami.
Saat itu hanya ada satu yang kurang dari acara Kongian kami yaitu kehadiran orangtua Ahiung. "Hiung dimane Apa kek Ama ka?" (Hiung dimana bapak dan mamakmu?)" tanyaku tidak sabar. Ahiung beranjak kebelakang mencari kedua orangtuanya, yang tadi melanjutkan acara sembahyang mereka. Setelah beberapa lama, keluarlah Asuk dan Aji yang berpakaian rapi sederhana, berbeda dengan ketiga anak-anak mereka yang berbaju dan bersepatu baru. Disamping mereka berdiri Asian dan Ahiung. Kedua orangtua itu tersenyum kearah kami. Kami semua berdiri serentak mengucapkan Selamat Kongian kepada keduanya sambil menggenggam kedua tangan kami, pas didepan dada, searah dengan muka kami. Inilah saat yang paling kami tunggu-tunggu yaitu penerimaan Angpao. Asuk Ahiung memberikan amplop kecil berwarna merah, satu persatu ke kami, kami menyalami dan mengucapkan Selamat Kongian kembali.
Aku bisa merasakan bentuk uang Rp.50,- didalam amplopku yang aku masukkan jauh-jauh kedalam saku baju Safari atas abangku. takut hilang atau terjatuh tanpa sengaja. "Siapa dari ikak ni yeng anak pak Seregar?" (Siapa dari kalian ini anak pak Siregar?"), tanya Aji kearah kami semuanya. "Kuu, jii," ("Akuu,Jii") sahutku dengan cepat sambil menunjuk tangan. "Ka nek makan Babi Hong, dak?" (Kamu mau makan Babi Hong , tidak?"), tanya Aji. Aku pun mengangguk dengan cepat. Babi Hong adalah makanan khusus Kongian yang hanya dimasak pas menyambut Kongian, tidak sembarangan. Masakan ini terkenal lezatnya dari mulut ke mulut untuk masyarakat Non-Muslim. Ahiung membawaku ke dapur dan tersedialah Babi Hong yang dimasak dengan bumbu-bumbu segar, Kecap dan dicampur dengan Arak Cina yang terkenal mahal, trus dikukus berjam-jam sampai semua daging Babinya lembut.
Dari dapur aku mendengar Aji Ahiung berkata kekawan-kawan Islam kami berdua: "Ikaak yang beragama Islam, ikak makanlah kue-kue Kongian Aji ni sepuas-puas e ok? Kami nek makan Kongian duluk kek anak pak Seregar tuh." (Kalian anak-anak Islam, kalian makanlah kue-kue Kongian Aji ni sepuas-puasnya ya? Kami mau makan Kongian dulu dengan anak pak Siregar tuh."), jelas Aji Ahiung. "Aaaoook, jiii...." (Iyaaa, Jiiii..."), jawab kawan-kawan Islamku serentak.
Didapur, Asuk Ahiung telah menyiapkan seluruh makanan khusus Babi Hong dan lain-lainnya diatas meja. Asap nasi yang baru diangkat dari kukusan besar mengepul-ngepul diudara seperti uap tungku raksasa. Aku dan seluruh keluarga Ahiung duduk, mencuci tangan masing-masing ditempat cuci tangan yang telah disediakan dan makan bersama. Terus terang aku sangat tersentuh, merasa gembira sekali karena diundang makan bersama seperti layaknya anak keluarga Ahiung. Aku makan dengan lahap.
Dari dapur aku dan Ahiung mendengar suara berisik, gerabak-gerubuk, tanda kawan-kawan kami sedang sibuk mengantongi kue-kue Kongian ke kantong saku masing-masing secepat kilat, takut ketahuan oleh Asuk dan Aji Ahiung. Aku dan Ahiung ketawa cekikikan, tahu apa yang sedang terjadi diruang tamu sana. "Yooo, makanlah, berentilah ketawak e, kelak kebengkel pulik," (Ayooo, makanlah, berhentilah tertawa, nanti kebengkel pula?"), tegur Aji ke kami berdua. Kamipun melanjutkan makan kami dengan lahap sambil memasang kedua telinga kami, menikmati suara berisik, kalap diruang tamu sana.
Setelah selesai berkongian dirumah Asuk dan Aji Ahiung, kamipun permisi pamitan, melanjutkan Kongian kerumah kawan-kawan Tionghoa kami lainnya. Ahiung pun ikut dengan kami. Kami pergi bertamu kerumah pemilik usaha Uto Pownis yang kaya raya, yaitu kerumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Kami mengulang ritual bertamu yang sama dirumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Kali ini kami mendapat Angpao Rp. 150,- yaitu jumlah yang lebih besar lagi.
Kami semuanya senang, merasa kaya raya dan perut kami pun berisi bermacam-macam makanan dan minuman ringan Kongian. Lidah-lidah dan bibir-bibir atas kamipun bergambar garis-garis panjang melebar, berwarna-warni sesuai dengan warna minuman yang paling banyak diminum saat itu. Setelah puas berkongian, jam 17.00 WIB, kami sepakat pulang. Perut kami semuanya gembul, keras kekenyangan. Pada saat kami berjalan, kami bisa mendengar bunyi air minuman yang kami tenguk didalam perut kami masing-masing. Bunyi perut kami bergemuruh. Kamipun memukul perut-perut kami dengan tangan masing-masing sehingga menimbulkan bunyi berdebum dengan nada melodi yang berbeda-beda pula; blup, bluuuup, bluuuuup! Kami tertawa terpingkal-pingkal, lucu, terhibur oleh bunyi isi perut sendiri. Walaupun badan kami kecapekan, bau keringat bercampur dengan bau teriknya Matahari tetapi kami senang dan puas.
Semangkin sore, suasana dijalan-jalanpun semangkin ramai dipenuhi oleh semua masyarakat, bercampur aduk, berjalan bergerombol, bermobil, bermotor, dan bersepeda untuk mengucapkan selamat Kongian kepada seluruh teman-teman dan tetangga-tetangga Urang Cin masing-masing. Menjelang malam, semangkin banyak pemuda-pemuda Non-Tionghoa mabuk karena kebanyakan minum Arak. Sampai ada istilah: Urang Cin yang Kongian, Melayu yang mabuk, tenggeng! Pokoknya semuanya meriah, menikmati Kongian tanpa pengecualian.
Grace Siregar
Perupa
27 September 2010
Biografi Grace Siregar:
Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.
Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.
Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.
Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.
Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.