Thursday, September 30, 2010

Masuk Penjara

Kemarin udara sangat cerah sekali. Aku melihat birunya laut menggodaku untuk berjalan kaki kesana. Aku langsung menelpon teman baru kami, Kat, yang baru pindah dari London. "Kat, yuk piknik ke pantai ntar sore?" ajakku bersemangat tanpa menanyakan kabarnya duluan. Kat mengiyakan ajakanku. Kami berjanji akan berjumpa pada pukul 16.00 di tempat bermain anak-anak, Hove Lagoon.

Aku pergi menjemput Rachel ke sekolah lebih awal. Aku membawa tas piknikku yg aku isi dengan alas duduk dari wool, setermos teh English Breakfast, sekotak biskuit dan sekilo Apel merah renyah. Cukuplah untuk menganjal perut selama kami berpiknik ria.

Aku melihat Rachel sudah keluar dari kelasnya dan sedang bermain kejar-kejaran dengan salah satu temannya. Kami langsung berjalan kaki menujuh pantai Hove. Rachel senang sekali sewaktu kubilang kami akan piknik dengan Kat dan kedua anak kembarnya yang lucu, Sam & Olivia. Kami semua menikmati piknik dadakan ini. Kami saling bercerita tentang apa-apa saja yang telah kami alami selama 2 minggu tidak berjumpa; termasuk bergosip tentang restoran vegan yg akan dibuka beberapa hari lagi oleh mantan istri Paul McCartney, Heather Mills, yang berdekatan dengan Hove Lagoon. "Aku yakin restoran ini tidak akan bertahan lama," kataku ke Kat. Kat mengiyakan dengan alasan bahwa para orangtua yg membawa anak-anak mereka bermain kesini lebih tertarik untuk membeli jajanan-jajanan lokal seperti Kentang dan Ikan goreng ala Inggris, biskuit, atau minuman-minuman ringan seperti coca cola, juice, dll. Bukan makanan non-daging-dagingan yg kemungkinan besar harganya akan mahal sekali.

Rachel menikmati bermain bersama-sama dengan Sam dan Olivia di kolam renang Paddling Pool seukuran dengkul dalamnya. Setelah dua jam lebih menikmati cuaca cerah ini, akhirnya kami pulang ke rumah. "Yuk nakku, bentar lagi bapak pulang." kataku sambil menunggu Rachel berganti baju di Kamar Mandi disamping Paddling Pool itu.

Makan malam kali ini, aku sengaja memasak makanan spesial Batak yaitu Saksang daging babi dimana bumbu-bumbu segarnya seperti Lengkuas, Jahe, Serai, Andaliman dan bumbu-bumbu lainnya aku belikan di toko Uni Thai yang berdekatan dengan rumah kami. Alexander & Rachel senang sekali. Mereka berdua menyiapkan peralatan makan bersama-sama. Setelah mengucap doa syukur, tiba-tiba Rachel menanyakan tentang PENJARA kepada bapaknya. Kami berdua terkejut! Biasanya obrolan makan bersama kami berkisar kegiatan kami masing-masing selama satu hari ini. "Kenapa rupanya, nang? Kok tentang penjara?" tanya Alexander ingin tahu. Akupun memasang kedua kupingku dgn serius takut kehilangan informasi penting dari mulut anak kami ini.

"Tadi ada teman sekelas kami, si Chloe D, nangis, pak. Kami terkejut. Kok tiba-tiba dia nangis didalam kelas pas waktu keluar main," jelas Rachel. Aku menanyakan apakah aku kenal dengan Chloe teman yang dimaksudkannya tadi. "Bapak dan mamak tidak kenal dia. Bukan Chloe yang main kerumah kita tempo hari, maak." kata Rachel menjelaskan. "Pas kami tanyakan kenapa dia nangis, si Chloe bilang bapaknya masuk penjara," kata Rachel sambil melihat kemuka kami berdua. "Trus, kalian bagaimana dengan Chloe?" tanya Alexander. "Aku diam saja, pak. Aku nggak ngerti mau bilang apa ke Chloe." Rachel bilang ada beberapa teman-teman mereka yg tidak mau bermain dengan Chloe setelah mendengar pengakuan Chloe tentang bapaknya.

"Inaaaang, bapak mau kau tetap berteman baik dengan Chloe. Kalau bapak Chloe masuk penjara itu bukan karena salah Chloe." ungkap Alexander dgn serius. "Bapak bisa bayangkan bagaimana perasaan Chloe, pasti sedih sekali." kata Alexander sambil melihat ke muka Rachel. Aku mengangguk tanda setuju. "Mungkin saja bapaknya si Chloe itu orang yang baik, hanya saja saat itu dia berbuat bodoh." kata Alexander dengan tenang. Kami bertiga menyantap makanan kami dengan diam. "Tapi pak, bapaknya si Chloe diijinkan keluar masuk penjara beberapa kali untuk lihat Cloe," kata Rachel lagi. "Berarti hukuman bapaknya tidak berat kalau ada waktu-waktu tertentu dia bisa keluar penjara," kataku menimpalinya.

"Satu permintaan bapak dan mamak ke kau, naang. Kalau kau berantam dengan si Chloe, jangan pernah kau pakai bapaknya yg dipenjara untuk membalas si Chloe. Kalau kau berantam dengannya, kau bilang saja apa alasan yg menyebabkan kau tidak suka dengannya. Jangan sekali-kali kau pakai soal bapaknya untuk memojokkan si Chloe. Bisa?" Aku melihat Rachel mengganggukkan kepalanya tanda dia setuju. "Selain jahat sekali, juga bukan urusan kita untuk menghakimi si Chloe," kataku menambahkan.

Kami bertiga menghabiskan makan malam kami. Pada saat Rachel mencuci piring, aku melihat muka si Rachel sedang berpikir tentang temannya si Chloe. Percakapan serius tadi bukan saja mengajarkan si Rachel untuk tetap berteman baik dengan Si Chloe; apapun kondisi yang temannya sedang hadapi. Percakapan tadi juga membuka pikiran kami untuk belajar bersikap dewasa tentang segala hal, yang kita alami dalam bersinggungan dengan kehidupan kita masing-masing, dengan lingkungan kita, pertemanan kita, sekarang dan dimasa-masa yang akan datang.

Grace Siregar

Perupa

Hove, 25 Juni 2009

Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.

Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.

Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.








Anak Babi Tabungan Untuk Biaya Masuk Sekolah

Pindah kami ke Medan dari tugas di propinsi Maluku Utara. Suamiku ditugaskan di Banda Aceh, bekerja dengan LSM Internasional saat itu. Setelah segala urusan pindah selesai pulanglah kami sekeluarga ke kampung bapakku, Sipoholon, Tarutung. Senangnya kami minta ampun bisa berjumpa dengan seluruh kerabat besar Siregar disana. Dalam rangka menyambut kepulangan kami, dipotonglah seekor anak babi yg berumur 6 bulan milik sepupuku, anak Amanguda yaitu adik laki-laki bapakku. Sepupuku ini memiliki tiga orang anak.


Hidangan Saksang, Sop, Nasi Merah, Panggang dan sayur Pucuk Ubi Tumbuk telah disiapkan di tikar yang digelar diruang dapur rumah Amangudaku. Seluruh keluarga besar Siregar berkumpul bersama. Amanguda sebagai yang dituakan memimpin doa makan bersama sebagai ucapan syukur, dilanjutkan dengan sepatah dua kata sambutan untuk menyambut kedatangan kami sekeluarga.


Pas Saksang daging babi itu sedang ditaruh kedalam piring kami bertiga, tiba-tiba nyeletuklah anak perempuan yang berumur empat tahun dengan lantang, dalam bahasa Batak, yang artinya begini: "Gara-gara Amangtua dan Inangtua datang, jadi dipotong anak babi bapakku yg akan dijual bapak ke onan untuk bayar uang masuk sekolahku nanti!"


Kami sontak terdiam. Semua kerabat yang tidak menyangka akan protes itu tiba-tiba menyuruh anak sepupu kami itu diam sambil serentak bilang :"Seeeesssst, nggak boleh bilang kek gitu. Tokka!" Amanguda meminta maaf atas protes cucunya itu sambil terus menyuruh semua makan. Aku dan suami malah tersentuh dengan kejujuran omongan anak sepupu kami ini.


Akhirnya, sebelum pulang ke Medan, kami berikan uang lebih dari cukup kepada sepupu kami sebagai ganti uang tabungan anak babi untuk pendaftaran masuk sekolah anak mereka nantinya.


Sejak itu, setiap kami pulang ke kampung Sipoholon menjumpai seluruh kerabat besar bapakku Siregar, kami selalu membelikan seekor babi yang besar dan gemuk untuk dipotong dan dimakan bersama-sama tanpa mengganggu keuangan Amanguda kami. Amangooooiiii, portibiiiiii....!


Grace Siregar

Perupa

Hove, Juli 2009

Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.

Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.

Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.





Monday, September 27, 2010

Kongian Di Bangka

Kongian yang lebih dikenal dengan sebutan Gong Xi Fat Choi ini adalah hari raya umat Kongfucu yang dirayakan secara meriah oleh penduduk Tionghoa dan masyarakat pada umumnya di Bangka. Kami semua menyebutnya hari raya Kongian. Bukan hanya kami yang sangat menikmati hari Kongian ini, juga orangtua-orangtua kami. Hari Kongian di Bangka menjadi hari libur tak resmi saat itu. Semua diliburkan, tutup, layaknya hari libur nasional. Walaupun agama Kongfucu baru diresmikan sebagai agama resmi Negara pada Juni 2000 oleh Presiden RI Gus Dur, tetapi kami masyarakat Bangka, dari dulu, dari sejak kami kecil-kecil dulu, sudah menganggap Kungfucu adalah agama resmi para tetangga-tetangga Tionghoa kami. Tidak ada bedanya dengan perayaan-perayaan hari besar keagamaan lainnya seperti Hari raya Lebaran Islam dan Hari Raya Natal dan Tahun baru Kristen.


Biasanya kami pergi Kongian kerumah kawan-kawan Tionghoa kami secara berkelompok, berjalan kaki dari kampung ke kampung lainnya. Sedangkan para orangtua kami pergi berkelompok dengan mengendarai Vespa PX ataupun bermotor Honda Bebek. Walaupun keempat kampung yang berdekatan dengan Kompleks perumahan Tambang Timah Bangka (TTB) Ake dimana kami tinggal, sudah bercampur baur antara suku Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, Bugis, dan Buton, tetapi Kampung Simpang Rumbiak dan Kampung Simpang adalah kampung yang paling banyak didiami oleh suku Tionghoa Bangka.


Orang Tionghoa Bangka, kami panggil Urang Cin (Orang Cina) dalam bahasa Melayu. Seperti kebanyakan keturunan-keturunan Tionghoa di Indonesia, Urang Cin kebanyakan membuka usaha dagang di pasar Tungtau, pemiliki usaha angkutan umum yang kami sebut Uto Pownis berukuran besar, terbuat dari kayu, berwarna merah, sebagai alat transportasi umum masyarakat di Bangka. Atau pedagang keliling bersepeda atau bermotor yang menjual Sayur-sayuran, Ikan, Daging-dagingan dan Tahu segar buatan sendiri. Biasanya pedagang keliling ini menjajakan dagangannya dari satu rumah kerumah lainnya, sampai masuk dari kampung satu ke kampung lainnya. Bahkan menjual Es Bungkus dan Kemplang Ikan Tenggiri ke sekolah-sekolah terdekat. Urang Cin Bangka selain berbicara dalam bahasa Melayu, mereka juga berkomunikasi dalam Bahasa Cin yang kami sebut bahasa Kek. Bahasa Kek pun menjadi salah satu bahasa penting di Pulau Bangka selain bahasa Melayu dan Indonesia. Semua masyarakat Bangka terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu dan bahasa Kek, sudah campur aduk. Sifat urang Cin Bangka sangat merakyat, pekerja keras yang ulet dan membumi.


Urang-urang Cin Bangka beribadah di klenteng-klenteng mereka sendiri. Biasanya Klenteng ini dirikan di depan rumah mereka. klenteng-klenteng bergaya arsitektur Cina ini beratap genteng berwarna Merah, dindingnya dicat putih bersih, dihiasi oleh lukisan-lukisan Bunga Teratai berwarna Merah Jambu merekah dengan dihiasi ornamen-ornamen berwarna Merah dan kuning keemas-emasan. Ditembok setiap dinding dibuat relief Ular Naga. Ada dua patung Singa gagah berdiri disamping kiri kanan pintu masuk Klenteng. Klenteng-klenteng ini tenang sekali dan selalu terisi dengan lilin-lilin tinggi besar berwarna merah menyala. Klenteng ini menjadi salah satu rumah ibadah yang dihormati dan tidak pernah diganggu, seperti halnya Mesjid dan Gereja diseluruh Pulau Bangka. Bagi urang-urang Cin yang kurang mampu, mereka pergi bersembahyang di Klenteng-klenteng tua terpelihara, yang terletak di sudut atau dipinggir jalan, dibawah pohon besar yang rimbun dan teduh. Besar kecilnya Klenteng milik pribadi ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Kalau keluarga Cin ini kaya, maka Klentengnya dibangun besar dan megah. Bila keluarganya biasa-biasa saja, seperti keluarga teman kami Ahiung, maka Klentengnyapun dibangun lebih kecil dan sederhana, tanpa mengurangi isi atau simbol relijius keagamaannya. Setiap aku, abangku dan adik-adikku dibawa bertamasya ke Pasar Tungtau dengan naik truk Mang Aripin atau naik Uto Pownis asuk Aliong atau Asuk Liauw, mataku tidak pernah bosan menikmati setiap keunikan Klenteng-klenteng yang berwarna-warni, berdiri angun didepan setiap rumah disepanjang jalan yang kami lewati sampai ke Pasar Tungtau di Sungailiat.


Ahiung, kawan urang Cin kami tinggal di Kampung Simpang Rumbiak. Rumahnya berdekatan dengan rumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw, pemilik usaha angkutan Uto Pownis yang kaya raya itu. Keluarga Ahiung adalah keluarga pekerja biasa yang ulet. Bapak dan mamak Ahiung kami panggil Asuk dan Aji Ahiung. Orangtua Ahiung adalah pedagang keliling bersepeda. Bapak Ahiung berjualan Sayur-sayuran, Ikan, Daging-dagingan dan Tahu segar. Sedangkan Aji Ahiung berjualan jajan-jajanan seperti kemplang Ikan, Es Bungkus Kacang Hijau di sekolah-sekolah termasuk disekolah kami. Ahiung memiliki seorang kakak perempuan bernama Asian yang pintar masak dan adik laki-lakinya bernama Asiuk. Walaupun keluarga Ahiung tidak kaya seperti Asuk Aliong dan Asuk Liauw, tetapi mereka selalu membuat kue-kue yang banyak dan enak. Mereka juga menyiapkan Angpao Rp.50,- yang akan diberikan kepada tamu-tamu, teman-teman anak mereka seperti kami ini. Waktu itu Rp.50,- termasuk jumlah yang lumayan besar untuk ukuran anak-anak. Jumlah itu senilai dengan uang Rp.5000 saat ini.


Aku beserta dengan kawan-kawanku Udin,Toni, Eko, Siti, Rohilah, Sinar dan Tini sepakat untuk berkumpul dibawah pohon Jeruk didepan rumahku pada jam 10.00 pagi. Berhubung kami akan berjalan kaki kerumah Ahiung di Kampung Simpang Rumbiak, maka kami harus berkumpul lebih awal dari biasanya. Perjalanan ini memakan waktu 40 menit. Seperti biasa kami pun berpakaian yang berkantung saku besar dan banyak untuk mengantongi kue-kue Kongian nantinya. Posisi rumah Ahiung berada sedikit kedalam. Setelah berjalan selama 40 menit, melewati hutan lebat dikiri kanan jalan utama bertanah kuning, tak beraspal, dan tidak rata, akhirnya kami belok kiri; mengikuti jalan setapak kecil disamping kolam alam kecil berawa, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon Rumbia besar dan lebat. Makanya kampung Ahiung disebut Kampung Simpang Rumbiak.


Kebanyakan urang-urang Cin di kampung Simpang Rumbiak memiliki hewan peliharaan Babi selain Ayam dan Bebek. Ternak Babi ini berkeliaran dimana-mana secara berkelompok, sehat dan bersih, sama dengan kami. Setelah melewati beberapa rumah urang Cin lainnya, yang rapi dan berhalaman bersih disapu, akhirnya sampailah kami dihalaman rumah Ahiung yang dikelilingi oleh pohon-pohon Kelapa yang menjulang tinggi. Dihalaman rumah mereka tumbuh pohon Jambu Bol Merah dan Putih, pohon Jambu air, pohon Rambutan, pohon Cempedak dan pohon Buah Rambai semacam Duku tetapi lebih asam. Pintu rumah Ahiung terbuka tetapi sepi. Photo kedua kakek dan nenek Ahiung yang telah meninggal diletakkan di atas altar yang dipakukan didinding kayu ruang tamu bertuliskan Aksara Cina dengan didampingi beberapa buah segar seperti Apel, Jeruk dan Anggur. Ditengah-tengah kedua foto itu diletakkan beberapa dupa Garu yang menyala dan mengeluarkan asap. Urang Cin dikenal sangat setia dan hormat kepada orangtua-orangtua mereka selama hidup, pun setelah mereka meninggal. Gorden jendela dan gorden pintu pembatas antara ruang tamu dan dapur berwarna merah muda terbang kemana-mana ditiup angin.


"Ahiiiuuuung...," panggil kami serentak. Tak ada sahutan balik. Kami melihat kue-kue Kongian bermacam-macam tersusun rapi didalam toples-toples yang dialasi oleh kertas-kertas minyak berwarna-warni seperti Merah, Kuning, Putih, Biru, dan Merah Muda diatas meja. Kami tidak berani masuk. Kami membalikkan badan kehalaman yang sudah bersih disapu. Hanya ada beberapa anak Babi berkeliaran lewat didepan kami. "Kurase, Ahiung daknek terimak kite betamu keruma e," ("Kurasa Ahiung tidak mau kita bertamu kerumahnya"), kataku dengan bimbang sambil celingak-celinguk melihat keberbagai arah. Tiba-tiba Sinar, anak keturunan Buton, berbisik sambil menunjuk ke Klenteng dibawah pohon Jambu Bol yang rindang. Klenteng itu sepengetahuan kami tidak pernah ada dan sepertinya baru didirikan. Jarak antar Klenteng dan rumah keluarga Ahiung terbilang agak jauh sedikit dari samping rumah Ahiung. "Yok, kite kesane, ngeliet siape tau diorang tenga sembahyang," ("Ayo, kita kesana, melihat siapa tahu mereka sedang sembahyang"), ajakku serentak dengan Eko, anak laki-laki Sunda, yang rumahnya pas berada dibelakang rumah teman kami Lehet Situmeang. Kamipun bergerak ke Klenteng itu. Dari dekat kami mulai mencium bau Dupa Garu. Ternyata keluarga Ahiung sedang sembahyang Kongian didalamnya. Kami menunggu diluar, agak jauh dari pintu masuk Klenteng, berjongkok dibawah pohon Rambutan yang berhadapan dengan pintu Klenteng mereka yang terbuka.


Kami memperhatikan dengan diam dan melihat dengan jelas keluarga Ahiung sedang sembahyang. Mereka berdiri sejajar, dimulai dari Asuk, diikuti Aji, kemudian Asian, Ahiung dan terakhir adik bungsunya, Asiuk. Mereka menggenggam tiga Garu, menunduk berkali-kali sambil mengangkat Garu digengaman masing-masing, sembahyang kearah Altar Kongfucu dengan tenangnya. Setelah berdoa, mereka saling salam-salaman mengucap Selamat Kongian.


Pas mereka keluar, kamipun berdiri, berhimpit-himpitan, tersenyum-senyum malu karena kami adalah orang pertama yang bertamu kerumah Ahiung. "Lah lame ok ikak datang e?" ("Sudah lama kalian tiba ya?"), tanya Asian dengan tersenyum senang. Ahiung dan Asiukpun senang sekali melihat kami, teman sepermainan mereka didalam hutan-hutan sana. Mereka bertiga memakai baju-baju baru dan bersepatu baru yang bagus pula tetapi tidak kesempitan. Kami pun menyalami Asian, Ahiung dan Asiuk bergantian sambil mengucapkan Selamat Kongian.


Kami berjalan bersama-sama dan disuruh masuk keruang tamu yang berisi toples-toples kue bermacam-macam. Terus terang, kami semuanya lapar, haus dan berkeringat karena berjalan kaki. "Ikaak, nek minum ape? Siti (tulisan City), Fanta, ape Coca Cola?" ("Kalian mau minum apa? Siti (tulisan City), Fanta atau Coca Cola?"), tanya Asian. Kami semuanya serempak menyahut "Siti, yuuk." Ahiung menyuruh kami membuka dan makan kue-kue Kongian yang tersedia didepan kami. Ada kue Tar Nanas, Kacang Atom masak tepung, Getes, Kemplang, Kerupuk Udang, kue Sempret, kue Gulung, kue Semprong, kue Rintak, kue Satu yang terbuat dari tepung kacang Hijau berwarna putih, manis dan berbentuk daun dan banyak lagi. Kami makan dengan semangat sekali. Sampai ada satu dua kue berjatuhan dilantai. Ahiung tertawa cekikikan melihat kebarbaran kami semuanya. Asian keluar membawa minuman kesayangan kami, Siti, digelas-gelas berwarna-warni yang dikasih pecahan-pecahan Es Batu didalamnya. Kami meminumnya serentak, merasakan nikmatnya soda dingin manis yang menggelitik-gelitik tenggorokan kami, menyeruputnya sampai habis seperti minum minuman terenak yang pernah dibuat didunia ini.


Ahiung dipanggil kakaknya Asian dari dalam dapur dan dia keluar membawa dua piring berisi kue lapis Lengit, Bolu Gulung, Bolu Kukus berwarna hijau dan Kue Apem berwarna-warni. Tanpa malu-malu kami berebutan mengambil kue-kue basah tersebut. Ahiung dan Asiuk pun ikut makan bersama-sama dengan kami.


Saat itu hanya ada satu yang kurang dari acara Kongian kami yaitu kehadiran orangtua Ahiung. "Hiung dimane Apa kek Ama ka?" (Hiung dimana bapak dan mamakmu?)" tanyaku tidak sabar. Ahiung beranjak kebelakang mencari kedua orangtuanya, yang tadi melanjutkan acara sembahyang mereka. Setelah beberapa lama, keluarlah Asuk dan Aji yang berpakaian rapi sederhana, berbeda dengan ketiga anak-anak mereka yang berbaju dan bersepatu baru. Disamping mereka berdiri Asian dan Ahiung. Kedua orangtua itu tersenyum kearah kami. Kami semua berdiri serentak mengucapkan Selamat Kongian kepada keduanya sambil menggenggam kedua tangan kami, pas didepan dada, searah dengan muka kami. Inilah saat yang paling kami tunggu-tunggu yaitu penerimaan Angpao. Asuk Ahiung memberikan amplop kecil berwarna merah, satu persatu ke kami, kami menyalami dan mengucapkan Selamat Kongian kembali.


Aku bisa merasakan bentuk uang Rp.50,- didalam amplopku yang aku masukkan jauh-jauh kedalam saku baju Safari atas abangku. takut hilang atau terjatuh tanpa sengaja. "Siapa dari ikak ni yeng anak pak Seregar?" (Siapa dari kalian ini anak pak Siregar?"), tanya Aji kearah kami semuanya. "Kuu, jii," ("Akuu,Jii") sahutku dengan cepat sambil menunjuk tangan. "Ka nek makan Babi Hong, dak?" (Kamu mau makan Babi Hong , tidak?"), tanya Aji. Aku pun mengangguk dengan cepat. Babi Hong adalah makanan khusus Kongian yang hanya dimasak pas menyambut Kongian, tidak sembarangan. Masakan ini terkenal lezatnya dari mulut ke mulut untuk masyarakat Non-Muslim. Ahiung membawaku ke dapur dan tersedialah Babi Hong yang dimasak dengan bumbu-bumbu segar, Kecap dan dicampur dengan Arak Cina yang terkenal mahal, trus dikukus berjam-jam sampai semua daging Babinya lembut.


Dari dapur aku mendengar Aji Ahiung berkata kekawan-kawan Islam kami berdua: "Ikaak yang beragama Islam, ikak makanlah kue-kue Kongian Aji ni sepuas-puas e ok? Kami nek makan Kongian duluk kek anak pak Seregar tuh." (Kalian anak-anak Islam, kalian makanlah kue-kue Kongian Aji ni sepuas-puasnya ya? Kami mau makan Kongian dulu dengan anak pak Siregar tuh."), jelas Aji Ahiung. "Aaaoook, jiii...." (Iyaaa, Jiiii..."), jawab kawan-kawan Islamku serentak.


Didapur, Asuk Ahiung telah menyiapkan seluruh makanan khusus Babi Hong dan lain-lainnya diatas meja. Asap nasi yang baru diangkat dari kukusan besar mengepul-ngepul diudara seperti uap tungku raksasa. Aku dan seluruh keluarga Ahiung duduk, mencuci tangan masing-masing ditempat cuci tangan yang telah disediakan dan makan bersama. Terus terang aku sangat tersentuh, merasa gembira sekali karena diundang makan bersama seperti layaknya anak keluarga Ahiung. Aku makan dengan lahap.


Dari dapur aku dan Ahiung mendengar suara berisik, gerabak-gerubuk, tanda kawan-kawan kami sedang sibuk mengantongi kue-kue Kongian ke kantong saku masing-masing secepat kilat, takut ketahuan oleh Asuk dan Aji Ahiung. Aku dan Ahiung ketawa cekikikan, tahu apa yang sedang terjadi diruang tamu sana. "Yooo, makanlah, berentilah ketawak e, kelak kebengkel pulik," (Ayooo, makanlah, berhentilah tertawa, nanti kebengkel pula?"), tegur Aji ke kami berdua. Kamipun melanjutkan makan kami dengan lahap sambil memasang kedua telinga kami, menikmati suara berisik, kalap diruang tamu sana.


Setelah selesai berkongian dirumah Asuk dan Aji Ahiung, kamipun permisi pamitan, melanjutkan Kongian kerumah kawan-kawan Tionghoa kami lainnya. Ahiung pun ikut dengan kami. Kami pergi bertamu kerumah pemilik usaha Uto Pownis yang kaya raya, yaitu kerumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Kami mengulang ritual bertamu yang sama dirumah Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Kali ini kami mendapat Angpao Rp. 150,- yaitu jumlah yang lebih besar lagi.


Kami semuanya senang, merasa kaya raya dan perut kami pun berisi bermacam-macam makanan dan minuman ringan Kongian. Lidah-lidah dan bibir-bibir atas kamipun bergambar garis-garis panjang melebar, berwarna-warni sesuai dengan warna minuman yang paling banyak diminum saat itu. Setelah puas berkongian, jam 17.00 WIB, kami sepakat pulang. Perut kami semuanya gembul, keras kekenyangan. Pada saat kami berjalan, kami bisa mendengar bunyi air minuman yang kami tenguk didalam perut kami masing-masing. Bunyi perut kami bergemuruh. Kamipun memukul perut-perut kami dengan tangan masing-masing sehingga menimbulkan bunyi berdebum dengan nada melodi yang berbeda-beda pula; blup, bluuuup, bluuuuup! Kami tertawa terpingkal-pingkal, lucu, terhibur oleh bunyi isi perut sendiri. Walaupun badan kami kecapekan, bau keringat bercampur dengan bau teriknya Matahari tetapi kami senang dan puas.


Semangkin sore, suasana dijalan-jalanpun semangkin ramai dipenuhi oleh semua masyarakat, bercampur aduk, berjalan bergerombol, bermobil, bermotor, dan bersepeda untuk mengucapkan selamat Kongian kepada seluruh teman-teman dan tetangga-tetangga Urang Cin masing-masing. Menjelang malam, semangkin banyak pemuda-pemuda Non-Tionghoa mabuk karena kebanyakan minum Arak. Sampai ada istilah: Urang Cin yang Kongian, Melayu yang mabuk, tenggeng! Pokoknya semuanya meriah, menikmati Kongian tanpa pengecualian.


Grace Siregar

Perupa

27 September 2010


Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.

Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.

Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.





Tuesday, September 21, 2010

Sekolah Minggu Di Bangka

Rumah kami yang terletak didalam Perumahan Kompleks Tambang Timah Bangka (TTB) Ake dikelilingi oleh empat buah kampung kecil yaitu Kampung Jelutung, Kampung Simpang Rumbiak, Kampung Simpang dan Kompleks Perumahan TTB Deniang Laut yang berdekatan dengan Pantai Matras yang terkenal itu. Hanya ada satu jalan tanah kuning tak beraspal, menanjak, yang menghubungkan Perumahan TTB Ake dengan keempat kampung tersebut. Hutan lebatpun menjadi pembatas antara satu kampung ke kampung-kampung lainnya. Hutan-hutan inilah yang menjadi taman bermain masa kecil kami semuanya.


Perusahaan TTB menyediakan satu truk besar sebagai alat transportasi seluruh pegawai TTB beserta seluruh keluarganya, dari/ke Kompleks TTB Deniang Laut sampai ke ibukota Kabupaten Bangka, Sungailiat. Antar jemput ini hanya dilakukan dua kali sehari yaitu pada jam 05.30 pagi dan jam 14.00. Minggu libur. Supir truk TTB itu bernama Mang Arifin tapi kami panggil Mang Aripin. Mang Aripin orang Melayu Islam yang baik hati. Semua orang sayang sama Mang Aripin walaupun Mang Aripin sering meninggalkan orang-orang kompleks yang terlambat. Mang Aripin bertubuh pendek, gemuk dan berwajah bulat seperti kue Apem. Mang Aripin suka sekali ngobrol dengan siapa saja yang duduk didepan dengannya. Biasanya Ibu-ibu tua atau ibu-ibu bunting.


Tidak banyak saingan Mang Aripin saat itu, hanya ada satu atau dua angkutan umum lainnya yang kami panggil Uto Pownis. Uto dalam bahasa Melayu artinya mobil. Uto Pownis ini terbuat dari kayu berwarna merah. Kursi-kursinya terbuat dari kayu-kayu panjang yang tersusun rapi dari depan sampai kebelakang. Didalamnya luas dan sejuk. Yang paling aku sukai dari Uto Pownis ini adalah jendela kayunya. Jendala kayunya bisa diturun naikkan sesuai dengan cuaca saat itu. Pemilik Uto Pownis adalah tetangga Tionghoa kami yang tinggal di Kampung Rumbiak dan Kampung Simpang. Mereka ini kami panggil Asuk Aliong dan Asuk Liauw. Asuk dalam Bahasa Cina Kek artinya bapak.


Gereja Huria Kristen Batak Protestan yang dikenal dengan Gereja HKBP hanya ada satu di Sungailiat yang jaraknya dua jam naik Uto Pownis atau truk Mang Aripin. Karena keterbatasan angkutan dan keterbatasan guru-guru Sekolah Minggu inilah, maka kegiatan beribadah anak-anak Batak seperti aku, saudara-saudaraku serta anak-anak Batak HKBP lainnya, yang tinggal jauh dikampung-kampung Sungailiat, Bangka sana, hanya bisa dilakukan sebulan sekali. Itupun harus bergilir dengan kampung-kampung lainnya. Pemberitahuan ibadah Sekolah Minggu dikabarkan sebulan sebelumnya melalui bapak kami. Ibadah ini dilakukan pada hari Sabtu pertama setiap bulan ini. Para orangtua Batak di kompleks kami berkumpul untuk memutuskan giliran rumah siapa yang akan dipakai untuk Ibadah Sekolah Minggu nantinya.


Biasanya setiap hari Jumaat malam jam 19.00 WIB, aku dan kawanku Ahiung menemani kawan-kawanku, Sinar, Rohilah, Udin, Eko, Abdul, Siti, dan Tini belajar mengaji kerumah Bik Rumiah. Sinar, Rohilah, Siti dan Tini pergi ngaji dengan berkebaya Melayu, bersarung dan berselendang, sedangkan Udin, Eko dan Abdul bersarung dan berpeci. Dirumah Bik Rumiah, teman-temanku akan duduk ditikar, melingkar, mengelilingi Bik Rumiah. Al-Quran diletakkan diatas meja kayu kecil berkaki dua yang bisa dilipat. Bik Rumiah akan mengajarkan teman-temanku membaca dan melafalkan bunyi ayat-ayat Al-Quran dengan memakai lidi. Membacanya pun dimulai dari belakang ke depan. Aku Dan Ahiung selalu duduk dibelakang kawan-kawanku, atau aku duduk dekat Bik Rumiah terkantuk-kantuk. Suara-suara jangkrik mengisi suasana malam yang syahdu. Kadang aku dan Ahiung ikut mendengarkan dan melafalkannya. Pada saat-saat tertentu, Bik Rumiah bertanya kepada kawan-kawanku. Saat tidak ada yang bisa menjawab, maka akupun angkat tangan dan menjawabnya dengan benar. Sejak itu, setiap ada ujian dari Bik Rumiah, maka teman-temanku menyuruh aku duduk dibelakang mereka dan menjadikanku sebagai sumber bocoran. Bik Rumiah adalah sahabat mamakku. Mamakku sayang kepada Bik Rumiah, begitu juga kami.


Kali ini giliran aku yang bersekolah minggu. Aku kasih tahu kawan-kawanku bahwa aku tidak bisa bermain siang nanti dengan mereka. Terus terang acara Sekolah Minggu adalah ibadah yang sangat kutunggu-tunggu, begitu juga dengan abang dan adik-adikku, bahkan oleh seluruh kawan-kawan Batak kami yang lainnya. Pada hari itu, mamak kami akan menyuruh kami mandi dengan pengawasan ketat. Dirumah, mamak kami akan membantu adik-adikku yang lebih kecil untuk mandi supaya seluruh daki-daki yang ada dibelakang kuping, dilipatan-lipatan badan dan kaki lekang. Kami pun disuruh menggosok kulit kaki kami dengan batu Apung supaya kulit kaki kami halus dan mengkilat kinclong!


Selesai mandi, kami semua memakai baju dan sepatu gereja kami. Baju dan sepatu gereja ini jarang kami pakai kecuali ke gereja, pesta kawin, Natal dan Tahun Baru atau pergi tamasya ke Pasar Tungtau, diajak oleh bapak dan mamak sekali-kali untuk minum Es Campur dan makan Mie Mian di Warung Apo yang terkenal enak itu. Baju gereja kami berwarna-warni dan berenda-renda halus. Aku ingat sekali, aku punya baju berwarna biru muda, adik-adikku berbaju kuning, merah jambu dan hijau. Baju-baju gereja kami ini sangat cantik dan bila badan kami berputar maka mengembanglah bagian bawah baju kami dengan indahnya. Abangku berpakaian baju Jas Safari yang dibelikan mamakku dari Medan.


Kami semuanya memakai sepatu-sepatu gereja kami, yang jarang kami pakai, sehingg kaku dan sedikit kekecilan. Kaki-kaki kami pun kesakitan pada saat memakainya. "Tu lah, men tiap ari gawe e main dak bekasut!" (Itulah kalau setiap hari main tanpa sandal!" omel mamak kami. Aku memaksa kakiku memakai sepatu gerejaku yang kesempitan dan kaku walaupun harus berjalan terjinjit-jinjit kesakitan karena aku ingin tampil cantik di ibadah nanti.



Rumah ibadah Sekolah Minggu kali ini dilaksanakan dirumah kawan kami Lehet Situmeang yang kami panggil Amangboru Lehet. Amangboru artinya paman. Tuan rumah biasanya menyediakan kue-kue basah seperti kue Bolu, kue Lapis Legit, Kue Apem yang berwarna-warni, kue Batak Pohul-pohul, Lappet terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan parutan Kelapa, Gula Merah, dibungkus dengan daun pisang dan dikukus. Kue-kue ini dimakan dengan didampingi Teh Manis dan Kopi hangat. Para orang tua dan muda-mudi Batak biasanya hadir dan duduk-duduk dikursi yang sudah disiapkan oleh tuan rumah sambil ngobrol, merokok dan minum Teh Manis atau Kopi hangat.


Acara makan kue bersama-sama dengan kami anak-anak Sekolah Minggu dilakukan setelah ibadah usai.


Biasanya kami anak-anak Sekolah Minggu sudah duduk rapi ditikar, diruang tamu dirumah Amangboru Lehet. Kami semuanya menunggu kedatangan truk Mang Aripin yang membawakan guru-guru Sekolah Minggu kami dari Sungailiat. Mang Aripin tidak pernah terlambat datang, selalu tepat waktu. Dari jauh kami sudah mendengar bunyi truk Mang Aripin menderu-deru, terseok-seok, dan kadang terbatuk-batuk menaiki jalan tanah kuning, menanjak dan tidak rata menujuh ke rumah Amangboru Lehet. Semangkin lama suara truk Mang Aripin semangkin dekat. Kami senangnya bukan kepalang. Semua orang berdiri menunggu Truk Mang Aripin sampai. Mang Aripin berhenti pas dijalan depan Rumah Amangboru Lehet. Guru-guru Sekolah Minggu laki-laki meloncat dari bak belakang truk sedangkan kakak-kakak perempuan Sekolah Minggu keluar dari depan Truk. Mereka duduk berdampingan dengan Mang Aripin. Mereka semuanya, termasuk Mang Aripin, menyalami orangtua-orangtua dan muda-mudi Batak kami satu persatu.


"Ikaak, nek bedoa, ok? Ni mamang lah bawak guru-guru sekula ikaaak," ("Kalian mau berdoa ya? Ini mamang sudah bawa semua guru-guru sekolah kalian"), kata Mang Aripin kepada kami yang berdiri keluar pintu, dorong-dorongan karena ingin melihat guru-guru kami yang baru datang dari kota Sungailiat. Kami anak-anak kampung selalu senang melihat kedatang guru-guru sekolah Minggu kami yang cantik-cantik, ganteng-ganteng, rapi dan wangi semerbak. Mereka datang dari kota Sungailiat, ibu kota kampung-kampung seperti kampung kami diseluruh Pulau Bangka.


Mang Aripin duduk di halaman beserta dengan bapak-bapak kami dan para pemudanya sambil melanjutkan obrolannya, ngopi dan merokok. Sedangkan mamak-mamak kami dan para pemudinya sibuk didapur, mengobrol sambil menyiapkan kue-kue bawaan masing-masing untuk dimakan nantinya.


Guru-guru Sekolah Minggu kami dipersilahkan masuk kedalam ruang beribadah. Kami semuanya duduk ditikar dengan perasaan senang, siap mendengar cerita Alkitab, permainan, menyanyi lagu-lagu baru gereja dan menggambar. Selain Alkitab dan Buku Ende untuk bernyanyi, Guru-guru sekolah Minggu kami membawa buku-buku gambar, pensil-pensil berwarna dan peralatan-peralatan lainnya. Dan inilah yang paling aku tunggu dan sukai, menggambar! Kami disuruh menggambarkan cerita Alkitab yang barusan didengar menurut versi masing-masing. Bisa saja gambar-gambar kami itu tentang Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Abraham dan tentang Tuhan Yesus Kristus yang menjelitkan mata orang buta sehingga bisa melihat, membangkitkan orang mati, menebus dosa umat manusia dengan cara disalibkan, mati, dan bangkit pada hari ketiga, naik ke Surga dan kemudian akan datang untuk kedua kalinya untuk menghakimi orang hidup dan mati. Semua gambar-gambar itu aku buat dengan penuh imajinasi. Kadang ditertawakan seluruh teman-temanku dan kadang dipuji oleh guru-guru kami.


Ada kebiasaan yang sering terulang berkali-kali menyangkut kedatangan kawan-kawan Islam dan Tionghoaku. Pada saat kami sedang bernyanyi sambil bertepuk tangan, disinilah kawan-kawanku; Siti, Rohilah, Sinar, Tini, Eko, Abdul, Udin, Toni dan Ahiung datang. Dari pintu aku lihat mereka berjalan bergerombol, berhimpit-himpitan malu, masuk ke halaman rumah Amangboru Lehet. Lama-lama mereka semuanya sudah duduk ditikar belakang kami, ikut mendengarkan kami bernyanyi dan bertepuk tangan. Lama kelamaan mereka pun ikut bernyanyi dan bertepuk tangan mengikuti kami semuanya.


"Siape budak-budak yang telambat dateng tadi tuu?" tanya salah satu guru Sekolah Minggu kami. Kami semua menjawabnya: "Diorang ni kawan kami, yuuk! Lah kupade kek diorang tadi e, ku dak pacak maen karena nek Sekula Minggu!" (Mereka ini kawan kami, kaak! Sudah kubilang ke mereka tadi bahwa aku tidak bisa main karena mau Sekolah Minggu!), teriakku dengan jelas!


"Ikaaak lah pamit lum kek mak-mak ikaak?" (Sudah permisi belum sama ibu-ibu kalian?) lanjut guru kami. "Laaaaah..." (Sudaaaah) jawab kawan-kawanku serentak dengan malu-malu. " Bebuleeeek...!" (Bohoooong!)" kataku tanpa suara sambil menoleh kebelakang, dan menjulingkan kedua mataku kearah kawan-kawanku. Mereka semuanya tertawa cekikikan. Acarapun dilanjutkan dan diakhiri dengan doa berkat dari guru-guru Sekolah Minggu kami.


Tidak ada satu orangtua kami yang melarang teman-teman Islam dan Tionghoaku datang, begitu juga dengan orangtua-orangtua mereka.


Para mamak-mamak kami dan para pemudinya telah mempersiapkan seluruh Kue-kue, Teh Manis dan Kopi hangat. Kami semua, termasuk kawan-kawan Islam dan Tionghoaku berbaris menujuh meja didapur. Namboru Lehet, istri Amangboru Lehet sudah berdiri didekat meja dan memberikan satu persatu piring kecil berisi dua kue dan segelas Teh Manis hangat. Kami semuanya kembali keruang tamu dan duduk ditikar, makan bersama-sama, sambil bercanda. Kawan-kawan Islam dan Tionghoaku melihat gambar yang kubuat tadi. Mereka tertawa cekikikan karena gambar wajah Nabi Nuh tidak mirip. "Ngape muke Nabi Nuh cem kek beruk ni?" ("Mengapa gambar wajah Nabi Nuh seperti monyet ini?"), ungkap Udin. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal sehingga ribut.


"Cube ikak ni jangan ribut geee. Makanlah kue-kue e tuh! Habisken semue Teh Manis e ok? Mahal e harge gule di pasar Tungtau!" ("Coba jangan ributlah. Makanlah kue-kuenya itu! Habiskan Teh Manisnya ya? Mahal harga gula di pasar Tungtau!"), suruh Namboru Lehet kepada kami semuanya. Kamipun nurut.


Seluruh guru Sekolah Minggu kami makan kue dan minum Teh dan Kopi hangat bersama-sama dengan para orangtua di halaman rumah Amangboru Lehet. Mamak-mamak dan para anak gadis silih berganti mengantarkan kue dan minuman manis hangat keseluruh tamu-tamu disana. Lama kelamaan kami pun ikut bergabung dengan mereka, ikut menikmati lucunya humor orang-orang dewasa. Disini kami anak-anak tidak boleh tertawa terlalu keras karena akan dimarahi atau diusir orangtua kami masing-masing karena takut dicap anak tak tahu adat!


Waktu pulangpun pun akhirnya tiba. Mang Aripin menghidupkan truk TTBnya. Seluruh guru-guru Sekolah Minggu kami berpamitan kepada seluruh orangtua kami. Kami semuanya berterimakasih. Guru laki-laki manjat naik ke bak belakang truk dan guru-guru perempuannya duduk didepan berdampingan dengan Mang Aripin. Kami semuanya melambai-lambaikankan tangan tanda perpisahan. Aku dan seluruh kawan-kawanku, melepaskan sepatu-sepatu baru kami dan berlari telanjang kaki dibelakang, mengikuti truk Mang Aripin yang merayap terseok-seok meninggalkan kompleks kami. Akhirnya kami berhenti diperbatasan jalan hutan dan memperhatikan truk Mang Aripin menghilang ditikungan jalan.


Kamipun kembali pulang dan bermain bersama-sama sampai saatnya pulang kerumah masing-masing untuk makan malam, belajar dan tidur.


Grace Siregar

Perupa

21 September 2010


Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara Siregar, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.

Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.

Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.










Lebaran Di Bangka

Waktu aku dan adik-adikku kecil dulu di Bangka, Lebaran sama pentingnya dengan Natal dan Kongian (Hari Raya Kongfucu) .

Hari yang paling aku ingat sebelum Lebaran adalah malam Takbiran. Dimalam Takbiran, semua anak-anak kompleks Tambang Timah Bangka (TTB) Ake di Sungailait, dan anak-anak yang datang dari kampung tetangga seperti Kampung Jelutung, Kampung Rumbiak, Kampung Simpang berkumpul bersama di lapangan sepak bola. Ada anak-anak Batak seperti aku, abangku, dan adik-adikku, ada anak-anak Tionghoa seperti kawanku Ahiung, ada anak-anak Jawa, ada anak-anak Buton, ada anak-anak Bugis, dan terutama banyak sekali anak-anak Melayunya. Kami semuanya datang dari berbagai agama; ada yang Islam, Kongfucu, Kristen Protestan dan Katolik, bahkan ada yang berasal dari kepercayaan tradisional Melayu Bangka, walaupun mereka mengaku beragama Islam.


Yang sangat menggembirakan kami sebagai anak-anak adalah pada saat seluruh kawan laki-laki kami membawa obor api yang warnanya terang benderang dimalam Takbiran. Saat itu, kami semuanya bersemangat mencari Laitatul Qodar yaitu mencari mahluk-mahluk halus yang bersembunyi ditempat-tempat gelap, disudut-sudut kampung, kebun dan hutan. Tak ada satupun orangtua-orangtua kami melarang anak-anaknya ikut bergabung dengan anak-anak Islam lainnya. Begitu juga dengan orangtua-orangtua kawan kami yang Islam tidak keberatan kami ikut ambil bagian dimalam Takbiran itu.


Dari lapangan sepak bola, bergeraklah kami semuanya dengan perasaan seru, mengelilingi kampung, menujuh tempat-tempat gelap untuk mencari Laitatul Qodar yang bersembunyi ketakutan dari kejaran kami, anak-anak dimalam Takbiran ini. Pada saat bergerombol membawa obor api memasuki tempat-tempat tergelap dan paling mengerikan, kami akan menangkap Laitatul Qodar, sambil meloncat-loncat, dan menggenggamnya dengan kuat-kuat, sambil komat-kamit berdoa meminta hadiah-hadiah yang dinginkan. Doa-doa permintaan ini harus tulus karena kalau tidak tulus maka Tuhan tidak akan mengabulkannya. Itu menurut guru ngaji kawanku Rohilah yg kami panggil Bik Rumiah yang tinggal dibelakang rumah kami. Kami pun berdoa komat-kamit, setulus-tulusnya, sambil memejamkan mata sekuat-kuatnya takut Laitatul Qodar bisa membukakan mata kami dengan kekuatan gaibnya. Tentu saja waktu itu aku dan semua kawan-kawanku percaya. Yang paling menggembirakan hatiku saat itu, saat teman laki-laki kami memberikan kesempatan bergilir kepada kami memegang obor api. Rasanya seperti memegang bintang gemintang dilangit, paling tidak itu yang kurasakan. Mencari Laitatul Qodar ini memakan waktu dua sampai tiga jam.


Setelah puas mencari Laitatul Qodar, kami semuanya mengikuti kawan-kawan Islam kami mengelilingi kompleks dan kampung-kampung sambil meneriakkan suara Takbiran. Kami semua membawa sesuatu untuk dipukul-pukulkan. Ada yang membawa Tong-tong timah kosong bekas Tar-tar Aspal, ada yang membawa Ember, ada yang membawa Panci-panci bocor milik Emaknya, ada yang membawa kaleng bekas Blueband atau membawa benda-benda bekas apa saja, pokoknya bisa dipukulkan dan mengeluarkan suara-suara gaduh supaya seluruh kampung bangun dan menyiapkan makanan-makanan yang enak untuk menyambut Lebaran esoknya.


Setelah puas mengikuti kawan-kawan Islamku bertakbiran, maka pulanglah kami kerumah, tidur kecapekan. Tidak ada sekalipun bapak dan mamak kami marah atau jengkel. Tidur pun tanpa cuci kaki, cuci muka dan gosok gigi seperti kebiasaan yang ditanamkan oleh bapak dan mamak kami.


Besoknya, kami semua yang Non-Muslim menunggu kawan-kawan kami diluar mesjid, menunggu mereka menyelesaikan sembahyang Idnya. Kami tidak langsung pergi bertamu kerumah-kawan-kawan, kami tunggu barang sejam supaya tidak terlalu malu datang duluan, sementara seluruh keluarga yang merayakan Lebaran belum salam-salaman. Setelah sejam, barulah kami bergerombol, terdiri dari enam orang, berlebaran kerumah pertama yaitu rumah kawan kami Rohilah, sesuai dengan hasil diskusi sebelumnya.


Ada kebiasaan unik dari kami anak-anak Kristen dan Kongfucu saat pergi berlebaran. Kami selalu memakai baju berkantung saku besar dan banyak. Aku ingat sekali, aku selalu memakai celana pendek abangku yang punya kantung saku empat yaitu dua saku dibelakang celana dan dua saku didepan celana. Aku pun sampai memakai baju gereja Safari abangku berkantung saku empat juga yaitu dua kantong saku diatas dan dua kantong saku dibawah kiri kanan. Jadi aku punya delapan kantung saku. Kegunaanya? Sebentar akan aku ceritakan.


"Assallam Muallaikuuuuuuuum!" teriak kami dengan keras takut tetangga tidak dengar. Biasanya suaraku yang paling keras. "Allaikum Sallaaaaaaaam... Masuk, masuuk, naak," ajak Bik Rohilah. "Selamat lebaran ok, bik. Selamat lebaran ok mang. Selamat lebaran Rohilah, ook?" Sambil menyalami semua anggota keluarga perempuan yang dituakan, yang biasanya duduk melingkar, berbaju kebaya Melayu dan berkerudung seadanya, kadang diselempangkan atau dililitkan sekenanya dileher. Begitu juga dengan anggota keluarga laki-laki yang dituakan, biasanya memakai celana panjang dan kemeja serta tak lupa berpeci. Biasanya mereka duduk mengelilingi meja tamu yang banyak toples-toplesnya, berisi bermacam-macam kue-kue lebaran. Teman-teman Islam kami memakai sepatu baru dan baju baru yang berwarna-warni pula. Biasanya baju baru itu berwarna kuning, merah jambu, biru muda, merah, hijau dan berenda-renda. Waktu itu belum ada yang memakai Jilbab dan berbaju Koko. Semuanya memakai kebaya Melayu yang berwarna-warni dan berkembang-kembang.


Kami langsung diantar kebelakang, kedapur, dan tersedialah makanan-makanan surga dimeja makan, yang jumlahnya banyaaaak sekali. Kami semua senang bukan kepalang. Ada Ketupat, ada Lempah Darat, ada Opor, ada Rendang, ada Ayam Goreng, ada Gulai, ada Sayur Labu bersantan, ada Ikan Masak Kuning, dan seterusnya, dan seterusnya... Pokoknya banyak sekali dan berlimpah ruah.


Kami pun mengambil makanan ala anak kampung, sopan dan seolah-olah malu-malu (padahal tidak sama sekali, dan semuanya lapar! Kami berjalan berbaris didekat meja makan sambil memegang piring kaleng dan sendok kaleng masing-masing, dorong-dorongan, takut tak kebagian. Persis sama dengan acara 17 Agustusan, hanya kali ini kami tidak berbaris diteriknya sinar Matahari sambil menyanyikan Indonesia Raya dan memberi hormat ke Bendera Merah Putih dan perut keroncongan. Hari itu kami semua memakaii baju bagus yang berkantong banyak. "Jangan berebut, naak." teguran Bik Rohilah. Rohilah, kawan kami itu, hanya duduk dikursi meja sambil tertawa cekikan melihat kami main dorong-dorongan tidak sabar. Dan biasanya kelakuan barbar ini selalu terjadi dirumah pertama Lebaran kami. Entah mengapa perasaan barbar ini justru muncul dirumah pertama.


Kami makan isi piring kami yang menggunung dengan lahap, sampai kawan kami Ahiung, orang Tionghoa, kebengkel oleh sepotong daging Rendang, yang ditelannya bulat-bulat, tidak dikunyah, nyangkut ditenggorokannya dan Ahiung hampir mati kebengkel!


"Biiiik, Ahiung kebengkeeeeel!" teriak kami serentak, ketakutan. Muka Ahiung pun pucat fasih karena tak bisa bernafas. Bibik Rohilah stress berat melihat muka Ahiung yang pucat karena kebengkel.


"Ambik aik minum tuuh!" Akupun bergerak cepat sambil mengambil air minumku dan memberikannya ke Bik Rohilah. Bibik menuangkan air minum tadi ke mulut Ahiung yang memang sudah terbuka karena mulutnya yang kebengkel daging sapi Rendang, yang ditelan bulat-bulat tanpa dikunyah. "Telen, teleeen yuuuung!" paksa Bik Rohilah. Mata Ahiung terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak bisa menelan air minum. Tidak berhasil, daging sapi masih berada ditengah tenggorokan Ahiung, muka Ahiung semangkin pucat.


Akhirnya, datanglah suami Bik Rohilah, Mang Udin, dan digebuknyalah punggung Ahiung dari belakang, meloncatlah keluar daging sapi rendang yang tidak dikunyah itu dari tenggorokan Ahiung. Ahiung pun terbatuk-batuk sebentar, selamat dan beberapa menit kemudian mukanya kembali segar. Ahiung dipaksa minum air teh manis hangat yang baru dibuat kawan kami Rohilah. Seluruh tamu Bik Rohilah dan Mang Udin kedapur mengelilingi Ahiung, ada yang mengipas-ipas muka Ahiung dengan tutup panci aluminium, ada yang mengurut-urut punggung Ahiung. Pada dasarnya semuanya merasa legah karena daging sapi yang tidak dikunyah Ahiung itu keluar dari tenggorokannya dan Ahiung tak jadi mati karena kebengkel.


"Lah kupade kek ikak, jangan be berebut makan ketupat e, jangan rakus umuuuun...!" (Sudah kubilang sama kalian semuanya, jangan berebutan makan ketupatnya dan jangan terlalu rakuuus...!"), omel Bik Rohilah. Kami pun melanjutkan makan ketupat lebaran kami masing-masing dengan perasaan malu sekalian jengkel ke Ahiung, sambil mendengar ocehan Bik Rohilah yang kepanjangan dan strees berat. Waktu itu, kami hanya malu melihat Ahiung. "Tu lah ka! Make e jangan rakus igak!" ("Itulah kau ini, makanya jangan terlalu rakus!"), kata salah satu kawanku dengan suara tertahan ke Ahiung. Ahiung tersenyum cengengesan.


Setelah makan ketupat, kamipun disuruh duduk diruang tamu untuk makan kue-kue Lebaran dimeja. Ada kue Sempret, kue Bolu Gulung, kue Serabi, Kacang Goreng, Tar Nanas, Getes, Kemplang, Kerupuk Udang dan seterusnya. Kamipun disuguhi segelas Limun, semacam minuman ringan, yang kami sebut Siti (tulisan CITY) dan Coca Cola.


Pas tuan rumah sedang kebelakang rumah, mendampingi tamu-tamu lainnya didapur, disitulah kegunaan kantung-kantung saku kami tadi. Kami semua mengisi kantong-kantong saku kami dengan Kacang, Getes dan kue-kue lebaran lainnya secepat kilat. Takut ketahuan. Waktu itu sebagai anak-anak kampung, kami tidak merasa malu. Setelah kantung saku kami penuh, kamipun serentak berpamitan. Pas sedang memakai sepatu didepan pintu, baru terdengar suara Bik Rohilah ngoceh ke kami: "Ikak ni ngantung kue-kue bibik ok? Tau dak, tamu-tamu bibik masi banyek e?" (Kalian ini ambil kue-kue bibik ya? Tahu nggak, tamu-tamu bibik masih banyak?"). Kami pun melangkah pergi tergopoh-gopoh sambil permisi mengucap: "Assallam Muallaikuuuuum..." dan biasanya tidak dijawab balik: " Allaikum Sallaaam.." karena bibiknya marah.


Hari semangkin siang, sedikit demi sedikit bergabunglah kawan-kawan muslim kami semuanya untuk pergi berlebaran bersama kerumah-rumah kawan sepermainan lainnya.


Melihat situasi saat ini di Indonesia, yang marak mengganggu tali persaudaraan dengan menggunakan kata HARAM oleh kelompok-kelompok yang anti kebersamaan spt FPI, PKS ditambah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), bersamaan dengan hotbah-hotbah anti kebersamaan yang sering kita dengar lewat speaker-speaker bervolume keras dari mesjid-mesjid, yang diarah keseluruh penjuru mata angin, akhirnya aku bertanya-tanya apakah rasa persaudaraan sayang ini, yang aku alami bersama-sama dengan saudara-saudaraku yang lainnya dulu akan tetap langgeng dilakukan di Indonesia?


Grace Siregar

Perupa

16 September 2010


Biografi Grace Siregar:

Aku adalah anak kedua dari tujuh bersaudara keluarga Siregar dan Sihombing. Boleh dikata kami adalah keluarga Kristen yang tradisional dan terbuka. Nenek moyang bapakku berasal dari kampung Siregar, di Muara, Danau Toba. Tetapi Opung Doli kami, Waldemar Siregar, merantau ke Tarutung dan menikah dengan Opung Boru kami, Clara Situmeang. Opung Doli artinya Kakek dan Opung Boru artinya Nenek.

Disitulah bapakku dilahirkan dan dibesarkan bersama-sama dengan ketiga saudara-saudaranya.

Tahun 1968, aku dilahirkan di Rumah Sakit Umum Tarutung. Waktu itu, aku sudah mempunyai seorang abang laki-laki. Karena situasi yang begitu sulit untuk mendapat pekerjaan teknik, akhirnya bapakku memutuskan untuk merantau, mencari pekerjaan ke Pulau Bangka. Bapakku meninggalkan mamakku dan kami berdua anak-anaknya yang masih kecil pergi demi masa depan yang lebih baik. Walaupun keluarga opungku memiliki tanah sawah yang luas, ternyata bapakku tidak mencintai menjadi petani tetapi mencintai pekerjaan teknik. Akhirnya, Bapakku berangkat dengan teman semarganya Siregar dengan naik kapal laut, Tampo Mas, dari Pelabuhan Belawan Medan, dengan uang seadanya.

Pulau Bangka yang memiliki biji-biji Timah terbanyak setelah Brazil, menjadi tujuan insinyur-insinyur muda dan anak-anak muda seperti bapakku untuk bisa bekerja di Perusahaan TTB (Tambang Timah Bangka). Setelah setahun di Bangka dan berhasil mendapat pekerjaan di TTB, akhirnya bapakku memutuskan untuk pulang ke Tarutung, menjemput kami sekeluarga, pindah ke Pulau Bangka.

Disinilah, di Pulau Bangka ini, aku dan saudara-saudaraku dibesarkan, bahkan adikku yang ke-empat sampai dengan adikku yang ke-tujuh lahir dan dibesarkan di tanah Melayu, Bangka ini. Bahasa Melayu Bangkapun menjadi bahasa nomor satu kami setelah bahasa Batak dan Indonesia.