Thursday, January 13, 2011

Aku Dan Rachel Meletus

Kejadian ini sebenarnya terjadi kemarin sore, saat aku menjemput Rachel ke sekolahnya di West Hove Junior. Sampai dihalaman sekolah aku melihat Rachel sedang bermain kejar-kejaran dengan dua orang temannya, Georgia dan Chloe D. Saat Rachel melihatku, wajahnya tiba-tiba berubah tidak senang. Biasanya dia akan berlari memelukku sambil menciumku bertubi-tubi sambil ngomong "mak, tadi aku rindu dengan mamak." o, oooo...kataku dalam hati. "yok naaak, pulaang," panggilku pada Rachel. Rachel berjalan mendekat.

Saat keluar dari halaman sekolah, aku tanya apa yang terjadi hari ini padanya hingga dunianya tiba-tiba berawan hitam disertai hujan lebat dan petir yang saling sambar menyambar. "Maaak, baju seragamku ini ternyata buat anak-anak yang lebih kecil." teriaknya agak keras sambil mulai menangis. Sebagai mamak yang teritorialnya mulai terganggu aku mulai menjelaskan bahwa seragam sekolah untuk musim panas adalah baju kotak-kotak biru dan pink. "Kok kau malu? Emangnya ada teguran dari guru wali kelasmu ttg bajumu hari ini?" tanyaku agak tersinggung. "Nggak ada! Tapi semua teman2 sekelasku tanya kok aku pakai baju seragam pink iniiiii....," sambar Rachel menjawab ulang. Sambil berjalan menyusuri jalan2 berkelok menujuh rumah, Aku menjelaskan pada Rachel bahwa aku tidak perduli apa kata teman-teman sekelasnya tentang baju seragam pink yang dipakai Rachel dan dia harus memakainya bergantian dengan baju birunya. "Kau harus punya pendapat naak, masak gara-gara teman-temanmu tidak mau pakai baju pink karena mereka malu dibilang anak-anak kecil, kau harus nurut? Kau pertahankan dong pendapatmu?" kataku jengkel. "Pokoknya aku nggak mau pakai lagi, maak...Aku maluuu!" teriaknya tertahan sambil bercucuran air mata. "Nggak malu kau nangis sejalan-jalan dilihat orang?" kataku sambil melihat mukanya yg basah. Rachel menghapuskan air matanya dan berhenti sesegukkan pada saat orang-orang berpas-pasan dengan kami, sesudah mereka lewat Rachel mulai menangis tertahan lagi. Sebenarnya aku iba dengan anakku dan ingin memeluknya tapi jalan keluar belum muncul untuk membahas masalah baju seragam musim panas yang berwarna PINK ini. Kami berdua MELETUS! "Kau pikir mamak beli baju seragam pinkmu ini pakai daun, Che?" Aku tetap memaksanya, perintah dari orantua dan dia harus NURUT. "Aku mau pakai baju seragam biru yang sama dengan kawan2 sekelasku," teriaknya keras kepala. Untuk menghindar jadi tontonan orang-orang yang melihat "adengan saling membalas" dengan memakai "bahasa planet mars" yang tidak dikenal orang-orang di Hove, akhirnya kami berjalan berjarak 4 meter dari masing-masing dan saling diam hingga sampai di rumah.

Jalan satu-satunya adalah menelpon sekolah Rachel. "Begini saja, mamak akan telepon bapakmu untuk menelpon sekolahmu sekarang tentang peraturan baju biru dan pink ini. kalau sekolahmu bilang baju biru dan pink bisa dipakai oleh semua murid tanpa terkecuali, kau harus memakainya dan siap diejek teman2mu. Tetapi kalau sekolah bilang baju pink hanya untuk dipakai kelas yg lebih kecil, maka mamak akan tukar dgn warna biru di toko kemarin." Rachel setujuh, tidak ada jalan lain. Kami berdua sama2 keras kepala mempertahankan pendapat kami masing-masing. Aku menelpon dan menjelaskan kepada Alexander untuk menelpon sekolahnya dan menelpon kembali tentang hasilnya.

Hasilnya, ternyata Rachel benar. Aku merasa bersalah ttg keras kepalaku pada anakku ini hingga membuatnya patah hati dan menangis. Aku panggil dia dan aku minta maaf. "Mau nggak kau memaafkan mamakmu ini, nakku?" Rachel memelukku kuat sambil mengangguk. Alexander menelpon kembali dan ingin tahu hasil dari PERANG tadi. Dia pun legah mendengar kami sudah berbaikan, karena pada saat kedua orang berhidung pesek yang paling berarti dalam hidupnya ini "berperang" yang paling menderita dan tidak tahan adalah suamiku. Alexander bilang bahwa untuk anak-anak seusia Rachel, teman-teman sekolahnya adalah dunia nomor satu buatnya dan dia tidak ingin lain sendiri dari teman2nya sekelas. Dia juga menceritakan ttg pengalamannya yang sama dengan adiknya Rowan.

Kesimpulan nomor 43 adalah tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orangtua yang sempurna, kita belajar terus untuk menjadi orangtua...

Hove, 5 Juni 2009
Grace Siregar

1 Comments:

Blogger Unknown said...

horas,,da, ini dari Tuk2, lake toba , asli saya dari Balige. Saya suka kalian berdua begitu demokratis..keren. Saya juga setuju da..anak juga punya hak dong untuk tidak setuju dengan pendapat orangtua asal cara mengungkapkannya dengan sopan. Itulah demokrasi dan hubungan yang sehat dalam keluarga..hebat da... kallo Tuhan mengizinkan aku nanti punya anak aku akan meniru cara eda berdemokrasi dengan anak..apa eda setuju dengan pendapat saya juga kalo menurut saya setiap keluarga harus mempunyai buku " Laki-laki dari Mars dan perempuan dari Venus' karya John Gray karena dalam buku itu kita tau bagaimana cara menjadi diri kita sendiri tanpa harus merasa tertekan/terpaksa dan tidak melukai perasaan keluarga kita.

7:00 AM  

Post a Comment

<< Home