Rachel Dan Laut
Laut, tempat yang paling berarti buatku. Aku dibesarkan di Pulau Bangka yang dikelilingi oleh laut. Bapakku, P.Siregar diterima kerja di bagian Eksplorasi Geologi PT.Timah Bangka. Berangkatlah bapakku menjemput mamakku, abangku, dan aku yg pd saat itu masih bayi ke kampungnya, Pintu Bosi, di Tarutung untuk pindah ke Pulau Bangka. Rumah pertama kami di Sungailiat, Kompleks Timah Bangka "AKE" yang berbentuk rumah2 bedeng setengah beton dan kayu. Sejak itu deburan ombak, pantai dan laut menjadi bagian dari hidupku yang tidak bisa dipisahkan.
Setelah menikah dengan Alexander, tinggal di Indonesia selama 11 tahun, punya anak si Rachel, kami berpindah-pindah terus mengikuti Alexander bertugas sesuai dengan misi NGO/LSM yang kebanyakan di daerah2 Indonesia Timur. Kami merasa beruntung bisa dapat hidup diwilayah terindah Indonesia ini dengan kekayaan laut dan pulau2nya yg unik. Rachel kecil juga dibesarkan berdampingan dengan laut di Maluku Utara seperti di Ternate, Tobelo dan tempat2 atau pulau2 yg tdk bs aku sebutkan satu persatu disini. Mungkin saat itu dia belum tahu betapa besar pengaruhnya terhadap hidupnya. Setiap kami berhubungan dengan laut spt berenang, ber-snorkling melihat dunia bawah laut yang indah dengan berbagai jenis tanaman laut serta ikan2 tropis yg berbeda bentuk, ukuran, dan warnanya, bahkan melihat ikan2 hiu bersirip hitam dan putih mengejar mangsa ikan2 yg lebih kecil, hiu2 itu tdk berbahaya kepada manusia. Kami juga berkemah di pantai2 atau pulau2 kecil yg tak bertuan. Hampir setiap saat kami melihat ikan lumba2 yg tiba-tiba muncul disamping kapal kami. Aku merasa Rachel diperkaya oleh alam dan budaya Maluku Utara. Rachel yang berteman dekat dengan anak-anak kampung di Maluku Utara dan bersekolah disana, membuatnya fasih berbicara bahasa Maluku Utara dengan logatnya yg kental. Bahasa Maluku Utara menjadi bahasa ibu pertama buat lidah Si Rachel, bukan bahasa Inggris ataupun Indonesia.
Kulitnya yang halus legam dengan perawakan "anak seribu pulau" ini akhirnya membentuk karakter Rachel menjadi periang dan suka bergaul. Teman-temannya banyak, dari anak-anak yg seusia dgnnya sampai kpd yang tua-tua. Nama kami pun tidak dikenal disana sbg Grace atau Alexander tetapi dipanggil "Cece pe mama" untukku atau "Cece pe papa" untuk Alexander. Tiga tahun berlalu, Alexander ditugaskan ke pemulihan bencana Tsunami di Meulaboh dan Banda Aceh. Kami pun harus pindah dari Maluku Utara ke Medan, ibukota propinsi para buyut-buyutku-ompung2ku.
Saat kepindahan kami ke Medan dan Alexander bertugas di Aceh, kami putuskan utk menyekolahkan Rachel disekolah internasional. Kali ini, Rachel berhadapan lain lagi dengan suasana pertemanan yg lebih "kota" dibandingkan dgn Tobelo yg terletak diujung pulau Halmahera, Maluku Utara. Setelah beberapa minggu, Rachel mulai mengeluh ttg suasana berkawan dikelasnya, terutama dengan teman-temannya yg berkulit putih pucat, manja, selalu dikawal dgn suster2 atau supir2nya (walaupun sudah besar). "mama, tong susa bekawang deng kita pe tamang2 dikelas, mama. Dong tara suka pa kita. " ("Maak, aku susah kali berkawan dgn teman2ku dikelas, mereka tidak suka denganku"), katanya dalam bahasa Maluku Utara kental dan dgn muka yg plg sedih yg pernah aku lihat. "Kong ngana biki apa ampe ngana pe tamang2 tara mau bekawang pa ngana? Ngana baku pukul deng dorang kah?" ( "Kenapa, nakku? Apa kau berkelahi dgn kawan2mu hingga teman2mu tdk mau berteman?"), tanyaku untuk tdk terbawa kedalam suasana mendungnya. "Tarada mama, tong tara nakal. " ("Nggak mak, aku tidak nakal."), katanya. "Jadi, ngana biki apa?" tanyaku lagi. Rachel terdiam sejenak. Aku pun diam menunggu jwbnnya. "Dorang bilang, torang kong ana kampong dan kita pe kuli itam, mama" (Karena aku dibilang anak kampung dan berkulit hitam, maak)." Aku sontak dan terkejut. Anak-anak yang usianya baru berapa jari jumlahnya sudah menentukan batas2 untuk bisa berteman sesuai dengan "kelas" yg setara dgn mereka.
Aku mulai berhotbah panjang lebar tentang betapa beruntungnya anakku Si Rachel untuk bisa hidup begitu dekat dgn alam, masyarakat, dan budaya "kampung" di Maluku Utara sana selama bertahun-tahun- yang tidak pernah kawan-kawan sekelasnya rasakan. Bagaimana murni persahabatannya dengan sahabat2nya dari "seribu pulau." "Kawan-kawanmu dikelas itu, nakku, hanya berkunjung saja ketempat2 wisata, terutama ketempat2 yg bisa mamak tebak, tetapi mereka tidak pernah hidup berdampingan, bersinggungan dengan masyarakat dan budaya tempat dimana mereka kunjungi. Termasuk menjadi bagian dr kota Medan ini, kecuali... tempat2 yang "mewah" menurut penilaian mrk atau mereka hanya berteman dgn mereka2 saja, nak. Bayangkan betapa kecilnya dunia mereka. Sedangkan kau, nakku, kau memiliki begitu byk teman2 yg tulus bersahabat dgnmu dan teman2mu berbeda-beda pula. Teman2mu datang dari semua latar belakang & budaya di Indonesia ini. Kalaupun teman2mu pergi berlibur, mrk akan tinggal beberapa hari di hotel, tdk ada kontak dgn masyarakat setempat, terus mrk pulang dgn orangtua2nya, dengan supir2nya, pembantu2nya, dan suster2nya. Kau pikir bapak dan mamak mau membesarkan kau seperti itu?" Rachel diam mendengarkan penjelasanku dan kulihat otaknya mulai mengolah pengalaman2nya sebagai anak seribu pulau. "Jadi kalau teman2mu tdk mau berkawan dgnmu karena kau dianggap anak kampung dan legam, kau justru harus kasihan pd mereka." Aku tahu hal itu akan susah buatnya tetapi aku percaya kepada kemampuan Rachel untuk bs menghadapi sistem "apartheid" yang diciptakan dikelasnya. "Bertemanlah dgn teman yg mau berteman dgnmu, berteman dgn siapa saja yg baik, nakku," pintaku lagi.
Rachel mengiyakan dan aku tahu kalau dia bilang iya itu berarti iya. Setelah berbicara dgn wali kelasnya yg membenarkan apa yg dirasakan Rachel, akhirnya Rachel bs mengambil sikap untuk berteman dengan teman yang baik. Aku legah, kejadian pertama dilingkup kecil ini akan menjadi pengalaman penting bg Rachel utk menghadapi dunia yang luas dan sgt kompleks isinya dimana "kemanjaan" akan membuat anak-anak kita menjadi anak yg cacat secara sosial dan mengalami kesulitan dalam bergaul.
Dengan sengaja pula kami mengirim Rachel kesekolah dengan mobil jemputan sekolah bulanan yg tidak ber-AC, kadang2 mogok, dan Rachel bisa membaur dgn teman2nya. Bepergian didalam kota Medan pun, kami berdua sengaja naik angkot, becak, omprengan dll agar anakku ini bs menjd bagian dari kota Medan dan bukan dipisahkan dari kotanya. Mobil dan Taxi hanya kami pergunakan pada saat2 tertentu saja. Sesering mungkin kami pulang kekampung bapak dan mamakku, Tanah Batak, tinggal serta bereksplorasi bersama agar Rachel dekat dengan saudara-saudaranya yg tinggal dikampung, dekat dgn bahasa & budaya mamaknya dimana setengah darahnya adalah darah batak.
Sekarang kami tinggal di Brighton-Hove yang berhadapan dengan laut dimana rohnya sgt penting buat kami bertiga terutama buat Rachel. Rachel beradaptasi bagus dengan kota dan negara bapaknya. "Mak, besok kami ada beberapa tugas dari Mrs.Hill & Mrs.Willis, salah satunya membuat patung dipantai dengan bahan-bahannya dari pantai. Harus difoto tugasnya kalo sudah selesai mak. Jadi pulang sekolah kita langsung kepantai ya, maak?" pinta anakku kemarin pagi. Aku menyetujuinya. Sewaktu menjemputnya kemarin, aku membawakan kamera digitalku, 2 buah apel untuk menganjal perut kami berdua dan kami langsung ke pantai Hove. Aku menikmati proses Rachel membuat patungnya dan menikmati ekspresinya berpikir secara spontan. Pasir digali, batu ditumpukkan dan seterusnya dan seterusnya... sampai karyanya selesai. Udara laut sore yg dingin tidak kuhiraukankan lagi, deburan ombak dan pekikan burung2 seagull menjadi bagian dari berproses Rachel dalam membuat patungnya. Aku menikmati suasana sore kemarin dengan anakku dan tidak lupa aku membuat foto karyanya sebelum kami pulang kerumah.
Hove, 10 Juni 2009
Grace Siregar






Setelah menikah dengan Alexander, tinggal di Indonesia selama 11 tahun, punya anak si Rachel, kami berpindah-pindah terus mengikuti Alexander bertugas sesuai dengan misi NGO/LSM yang kebanyakan di daerah2 Indonesia Timur. Kami merasa beruntung bisa dapat hidup diwilayah terindah Indonesia ini dengan kekayaan laut dan pulau2nya yg unik. Rachel kecil juga dibesarkan berdampingan dengan laut di Maluku Utara seperti di Ternate, Tobelo dan tempat2 atau pulau2 yg tdk bs aku sebutkan satu persatu disini. Mungkin saat itu dia belum tahu betapa besar pengaruhnya terhadap hidupnya. Setiap kami berhubungan dengan laut spt berenang, ber-snorkling melihat dunia bawah laut yang indah dengan berbagai jenis tanaman laut serta ikan2 tropis yg berbeda bentuk, ukuran, dan warnanya, bahkan melihat ikan2 hiu bersirip hitam dan putih mengejar mangsa ikan2 yg lebih kecil, hiu2 itu tdk berbahaya kepada manusia. Kami juga berkemah di pantai2 atau pulau2 kecil yg tak bertuan. Hampir setiap saat kami melihat ikan lumba2 yg tiba-tiba muncul disamping kapal kami. Aku merasa Rachel diperkaya oleh alam dan budaya Maluku Utara. Rachel yang berteman dekat dengan anak-anak kampung di Maluku Utara dan bersekolah disana, membuatnya fasih berbicara bahasa Maluku Utara dengan logatnya yg kental. Bahasa Maluku Utara menjadi bahasa ibu pertama buat lidah Si Rachel, bukan bahasa Inggris ataupun Indonesia.
Kulitnya yang halus legam dengan perawakan "anak seribu pulau" ini akhirnya membentuk karakter Rachel menjadi periang dan suka bergaul. Teman-temannya banyak, dari anak-anak yg seusia dgnnya sampai kpd yang tua-tua. Nama kami pun tidak dikenal disana sbg Grace atau Alexander tetapi dipanggil "Cece pe mama" untukku atau "Cece pe papa" untuk Alexander. Tiga tahun berlalu, Alexander ditugaskan ke pemulihan bencana Tsunami di Meulaboh dan Banda Aceh. Kami pun harus pindah dari Maluku Utara ke Medan, ibukota propinsi para buyut-buyutku-ompung2ku.
Saat kepindahan kami ke Medan dan Alexander bertugas di Aceh, kami putuskan utk menyekolahkan Rachel disekolah internasional. Kali ini, Rachel berhadapan lain lagi dengan suasana pertemanan yg lebih "kota" dibandingkan dgn Tobelo yg terletak diujung pulau Halmahera, Maluku Utara. Setelah beberapa minggu, Rachel mulai mengeluh ttg suasana berkawan dikelasnya, terutama dengan teman-temannya yg berkulit putih pucat, manja, selalu dikawal dgn suster2 atau supir2nya (walaupun sudah besar). "mama, tong susa bekawang deng kita pe tamang2 dikelas, mama. Dong tara suka pa kita. " ("Maak, aku susah kali berkawan dgn teman2ku dikelas, mereka tidak suka denganku"), katanya dalam bahasa Maluku Utara kental dan dgn muka yg plg sedih yg pernah aku lihat. "Kong ngana biki apa ampe ngana pe tamang2 tara mau bekawang pa ngana? Ngana baku pukul deng dorang kah?" ( "Kenapa, nakku? Apa kau berkelahi dgn kawan2mu hingga teman2mu tdk mau berteman?"), tanyaku untuk tdk terbawa kedalam suasana mendungnya. "Tarada mama, tong tara nakal. " ("Nggak mak, aku tidak nakal."), katanya. "Jadi, ngana biki apa?" tanyaku lagi. Rachel terdiam sejenak. Aku pun diam menunggu jwbnnya. "Dorang bilang, torang kong ana kampong dan kita pe kuli itam, mama" (Karena aku dibilang anak kampung dan berkulit hitam, maak)." Aku sontak dan terkejut. Anak-anak yang usianya baru berapa jari jumlahnya sudah menentukan batas2 untuk bisa berteman sesuai dengan "kelas" yg setara dgn mereka.
Aku mulai berhotbah panjang lebar tentang betapa beruntungnya anakku Si Rachel untuk bisa hidup begitu dekat dgn alam, masyarakat, dan budaya "kampung" di Maluku Utara sana selama bertahun-tahun- yang tidak pernah kawan-kawan sekelasnya rasakan. Bagaimana murni persahabatannya dengan sahabat2nya dari "seribu pulau." "Kawan-kawanmu dikelas itu, nakku, hanya berkunjung saja ketempat2 wisata, terutama ketempat2 yg bisa mamak tebak, tetapi mereka tidak pernah hidup berdampingan, bersinggungan dengan masyarakat dan budaya tempat dimana mereka kunjungi. Termasuk menjadi bagian dr kota Medan ini, kecuali... tempat2 yang "mewah" menurut penilaian mrk atau mereka hanya berteman dgn mereka2 saja, nak. Bayangkan betapa kecilnya dunia mereka. Sedangkan kau, nakku, kau memiliki begitu byk teman2 yg tulus bersahabat dgnmu dan teman2mu berbeda-beda pula. Teman2mu datang dari semua latar belakang & budaya di Indonesia ini. Kalaupun teman2mu pergi berlibur, mrk akan tinggal beberapa hari di hotel, tdk ada kontak dgn masyarakat setempat, terus mrk pulang dgn orangtua2nya, dengan supir2nya, pembantu2nya, dan suster2nya. Kau pikir bapak dan mamak mau membesarkan kau seperti itu?" Rachel diam mendengarkan penjelasanku dan kulihat otaknya mulai mengolah pengalaman2nya sebagai anak seribu pulau. "Jadi kalau teman2mu tdk mau berkawan dgnmu karena kau dianggap anak kampung dan legam, kau justru harus kasihan pd mereka." Aku tahu hal itu akan susah buatnya tetapi aku percaya kepada kemampuan Rachel untuk bs menghadapi sistem "apartheid" yang diciptakan dikelasnya. "Bertemanlah dgn teman yg mau berteman dgnmu, berteman dgn siapa saja yg baik, nakku," pintaku lagi.
Rachel mengiyakan dan aku tahu kalau dia bilang iya itu berarti iya. Setelah berbicara dgn wali kelasnya yg membenarkan apa yg dirasakan Rachel, akhirnya Rachel bs mengambil sikap untuk berteman dengan teman yang baik. Aku legah, kejadian pertama dilingkup kecil ini akan menjadi pengalaman penting bg Rachel utk menghadapi dunia yang luas dan sgt kompleks isinya dimana "kemanjaan" akan membuat anak-anak kita menjadi anak yg cacat secara sosial dan mengalami kesulitan dalam bergaul.
Dengan sengaja pula kami mengirim Rachel kesekolah dengan mobil jemputan sekolah bulanan yg tidak ber-AC, kadang2 mogok, dan Rachel bisa membaur dgn teman2nya. Bepergian didalam kota Medan pun, kami berdua sengaja naik angkot, becak, omprengan dll agar anakku ini bs menjd bagian dari kota Medan dan bukan dipisahkan dari kotanya. Mobil dan Taxi hanya kami pergunakan pada saat2 tertentu saja. Sesering mungkin kami pulang kekampung bapak dan mamakku, Tanah Batak, tinggal serta bereksplorasi bersama agar Rachel dekat dengan saudara-saudaranya yg tinggal dikampung, dekat dgn bahasa & budaya mamaknya dimana setengah darahnya adalah darah batak.
Sekarang kami tinggal di Brighton-Hove yang berhadapan dengan laut dimana rohnya sgt penting buat kami bertiga terutama buat Rachel. Rachel beradaptasi bagus dengan kota dan negara bapaknya. "Mak, besok kami ada beberapa tugas dari Mrs.Hill & Mrs.Willis, salah satunya membuat patung dipantai dengan bahan-bahannya dari pantai. Harus difoto tugasnya kalo sudah selesai mak. Jadi pulang sekolah kita langsung kepantai ya, maak?" pinta anakku kemarin pagi. Aku menyetujuinya. Sewaktu menjemputnya kemarin, aku membawakan kamera digitalku, 2 buah apel untuk menganjal perut kami berdua dan kami langsung ke pantai Hove. Aku menikmati proses Rachel membuat patungnya dan menikmati ekspresinya berpikir secara spontan. Pasir digali, batu ditumpukkan dan seterusnya dan seterusnya... sampai karyanya selesai. Udara laut sore yg dingin tidak kuhiraukankan lagi, deburan ombak dan pekikan burung2 seagull menjadi bagian dari berproses Rachel dalam membuat patungnya. Aku menikmati suasana sore kemarin dengan anakku dan tidak lupa aku membuat foto karyanya sebelum kami pulang kerumah.
Hove, 10 Juni 2009
Grace Siregar







Its finished! She happy....
1 Comments:
cool..cool..
Post a Comment
<< Home